Dominasi kaum
pria terhadap wanita telah berlangsung secara mengglobal jauh sebelum era
globalisasi, menggoreskan luka yang dalam di hati banyak wanita. Wanita
dianggap hanya bisa dan boleh tahu urusan dapur, anak dan rumah tangga.
Kalaupun mereka boleh membaca, maka jenis bacaan yang “halal” bagi mereka
hanyalah roman picisan atau komik bergambar. Pandangan yang merendahkan wanita
bukan hanya ada diluar ke kristenan. Di dalam gereja sendiri, tragisnya, sering
kali wanita dipandang sebagai harta milik, objek, polusi yang membahayakan, dan
yang paling keras adalah wanita dinilai tidak mampu menjadi gambar Allah
sehingga mereka dilarang untuk menjadi pemimpin, pengkhotbah dan pengajar dalam
ibadah pelayan di gereja.
Paulus dalam
surat-suratnya pun seolah-olah “mengonfirmasi” status dan peran wanita dalam
gereja, misalnya di 1 Korintus 14:34-35 dan 1 Timotius 2:12-16. Pada kedua
bagian tersebut Paulus melarang wanita berbicara dan mengajar dalam
pertemuan-pertemuan jemaat. Bahkan secara tegas ia menulis bahwa Hawa-lah yang
tergoda dan jatuh ke dalam dosa. Sikap Paulus tersebut sangat mempengaruhi cara
gereja memperlakukan wanita. Selain oleh ayat-ayat tersebut, cara bapak-bapak
gereja memperlakukan wanita juga banyak dipengaruhi oleh ajaran Yunani dan
Talmud. Menurut William Barclay, pandangan orang Yahudi yang merendahkan wanita
nampak dalam doa pagi pria Yahudi yang terdapat dalam Talmud. Di dalam doanya
setiap pagi seorang Yahudi bersyukur karena Tuhan tidak menciptakannya sebagai
seorang kafir, budak, atau wanita. Wanita pada masa itu dianggap rendah dan
berada di bawah dominasi pria. Keadaan ini terus berlanjut selama berabad-abad
tanpa ada perubahan.
Tidak heran jika
timbul berbagai reaksi dari kaum wanita, mulai dari sekedar yang memendam rasa
tidak puas hingga yang berani bersuara, bahkan yang lebih ekstrem, memberontak
terhadap tatanan yang telah berurat berakar di masyarakat. Tidak heran pula
jika di berbagai penjuru dunia kita akan menemukan gerakan kaum wanita yang
dikenal dengan istilah “feminisme,” suatu gerakan yang dilandasi oleh kesadaran
kaum wanita bahwa mereka adalah makhluk yang Tuhan ciptakan sederajat dengan
pria.
Pengaruh gerakan
ini juga merambah ke dalam dunia teologi abad dua puluh. Pada paruh kedua tahun
1960-an, teolog-teolog wanita dan mahasiswi sekolah teologi telah mengembangkan
satu genre baru dalam pemikiran Kristen kontemporer yang dikenal sebagai
teologi feminis. Teologi ini memiliki sprektrum yang luas dan terus berkembang
sehingga kalau kita berbicara tentang teologi feminis Kristen, harus jelas
teologi feminis Kristen yang mana, liberal, radikal atau evangelikal, karena
masing-masing memiliki arah atau penekanan yang berbeda. Perbedaan yang cukup mencolok dari ketiga tipe tersebut adalah
pandangan mereka terhadap Alkitab; feminis evangelikal mengklaim bahwa mereka
percaya bahwa Alkitab adalah firman yang diinspirasikan Allah dan Alkitab
adalah sumber teologi mereka, sedangkan yang liberal dan radikal tidak
mengklaim bahwa mereka percaya Alkitab sebagai firman yang diinspirasikan Allah.
Teologis
feminis Kristen diwakili oleh Rosemary Radford Ruether, Letty M, Russell dan
Elizabeth Schussler Fiorenza.
Pada abad
pertengahan kaum wanita mulai menyadari bahwa mereka dimarginalkan dalam urusan
gereja dan masyarakat; kesempatan yang mereka miliki sangat terbatas dan tempat
yang tersedia bagi mereka hanyalah dalam rumah tangga. Kesadaran akan keadaan
ini mulai membawa sedikit angin perubahan. Sejumlah wanita tampil sebagai
penulis-penulis spiritual dan mistik pada masa ini. Beberapa karya tulis mereka
menunjukkan adanya pengertian yang mendalam tentang isu-isu filsafat. Hanya,
karya tulis tersebut tidak dalam bentuk seperti tulisan para teolog gereja
tetapi lebih bersifat kontemplatif yang memperlihatkan pendekatan mereka
terhadap masalah-masalah kehidupan, di mana kunci jawabannya mereka cari di
dalam hal-hal spiritual.
Keadaan kaum
wanita secara perlahan-lahan mengalami sedikit perubahan pada zaman Pencerahan.
Semangat abad Pencerahan memberi dampak besar bagi bangkitnya para wanita
terutama di Eropa. Beberapa wanita tampil ke permukaan dan melahirkan karya
tulis ilmiah tentang wanita. Gagasan kesetaraan wanita dengan pria dituangkan
dalam tulisan-tulisan mereka dalam bentuk esai, disertasi dan sebagainya. Pada
abad berikutnya muncul beberapa wanita terkemuka yang memberikan kontribusi
signifikan dalam bidang sains dan filsafat; sebagian lainnya memainkan peran
penting di bidang seni, pendidikan dan politik.
Gerakan ini
makin terasa pada abad kedua puluh khususnya di Barat. Di Amerika Serikat yang
menjadi katalisator gerakan wanita modern adalah karya monumental Betty
Friedan, The Feminine Mystique (1963) yang memberikan pengaruh yang
sangat kuat bagi masyarakat di negara tersebut. Pengaruhnya dapat disejajarkan
dengan karya Charles Darwin, The Origin of the Species. Sejak saat itu
gerakan ini seolah tak terbendung lagi. Kini gerakan feminisme dapat kita
jumpai di belahan bumi mana pun, sehingga tidak heran jika kita mengenal adanya
black feminist theology di Afrika, feminis Islam di Indonesia, feminis
Yahudi dan sebagainya. Sehingga cukup jelas bahwa teologi feminis lahir sebagai
reaksi protes terhadap dominasi dan penindasan terhadap kaum wanita yang
berlangsung di dalam dan di luar gereja selama berabad-abad. Teolog-teolog
feminis sendiri yakin bahwa pendorong gerakan mereka berakar dari pengajaran Perjanjian
Baru tentang bagaimana seharusnya orang Kristen berelasi satu dengan yang lain.
Model relasi orang Kristen, khususnya pria dan wanita tidak bersifat hierarki melainkan
kesederajatan yang sempurna dan tidak boleh ada lagi peran dalam masyarakat, gereja
ataupun di rumah yang berdasar pada gender.
Feminisme di
dalam belahan dunia sangat beragam dalam struktur, bentuk, penekanan dan
sebagainya. Hal ini terlihat dari karya tulis mereka, buku-buku, maupun
artikel-artikel yang mereka tulis. Namun, walaupun cukup beragam mereka masih
memiliki persamaan yang menjadi cirri dari feminis, diantaranya: pertama, teologi Kristen tradisional
bersifat patriarkhal. Kedua, teologi tradisional telah mengabaikan kaum
wanita serta pengalaman mereka. Ketiga, natur teologi yang patriarkhal
telah memberikan konsekuensi yang merusak bagi wanita. Keempat, sebagai
solusi atas ketiga masalah di atas, itu wanita harus menjadi teolog yang
memulai usaha teologis mereka. Sehingga yang menjadi penekanan feminism adalah
“penindasan”, patriarchal” dan “kesetaraan”. Ketiga hal ini adalah problem yang
harus dihadapi oleh wanita. Kaum wanita harus berjuang melawan penindasan yang
diakibatkan oleh tembok-tembok patriarkhal guna mencapai kesetaraan dengan
pria. Dengan kata lain, perjuangan kaum wanita pada dasarnya adalah perjuangan
untuk meraih kebebasan dan secara ringkas dapat disimpulkan bahwa feminisme
pada hakikatnya adalah suatu gerakan pembebasan kaum wanita dari sistem yang
selama ini membuat mereka berada di marginal. Sedangkan teologi feminis dapat
dikatakan sebagai suatu usaha untuk menjelaskan kembali iman Kristen dari
perspektif wanita sebagai kelompok yang tertindas.
Kalau kita
berbicara mengenai teologi seseorang atau sekelompok orang maka salah satu
pertanyaan yang penting dan perlu diajukan adalah bagaimana pandangan orang
atau kelompok orang tersebut terhadap Alkitab? Apakah Alkitab diterima sebagai
firman Allah yang berotoritas? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
setidaknya menunjukkan corak teologi yang dianut seseorang atau sekelompok
orang tersebut. Jika ditanya mengenai inspirasi Alkitab maka para feminis akan
segera menjawab bahwa mereka percaya inspirasi. Tetapi jangan terburu-buru
menyimpulkan bahwa itu artinya mereka masih berada di jalur iman Kristen yang
ortodoks. Menurut Russell, inspirasi ilahi Alkitab berarti bahwa Roh Allah
memiliki kuasa untuk membuat kisah Alkitab berbicara kepada kita dari iman
menuju kepada iman. Alkitab diterima sebagai firman Allah apabila komunitas
iman memahami Allah berbicara kepada mereka di dalam dan melalui berita
Alkitab.
Pandangan
“miring” tersebut tidak aneh karena kelompok feminis yang menyebut diri evangelikal
pun memiliki keyakinan serupa. Menurut kelompok ini, Alkitab diinspirasikan
oleh Allah dalam pengertian bahwa di dalam dan melalui kata-kata
yang digunakan oleh penulis Alkitab, Allah memberikan firman-Nya. Allah memakai
manusia yang terbatas untuk menyatakan kehendak-Nya. Firman Allah sempurna
tetapi manusia, sebagai penulis Alkitab, terbatas. Jadi, ada peluang bagi
ketidaksesuaian antara firman Allah yang kekal dan kata-kata yang digunakan
oleh para penulis Alkitab. Atau dengan kata lain, Alkitab bersifat falibel
serta tunduk pada keterbatasan manusia dalam menuangkan maksud Allah dalam
kata-kata.
Hal serupa
diungkapkan oleh Russell ketika ia berbicara tentang otoritas Alkitab. Alkitab
berotoritas dalam kehidupannya karena Alkitab memahami pengalamannya dan
berbicara kepadanya tentang makna dan tujuan kemanusiaannya di dalam Yesus
Kristus. Sehingga, meskipun Alkitab ditulis dari sudut pandang patriarkhal, dan
juga terdapat ketidakkonsistenan atau kontradiksi, tetap saja Alkitab
berotoritas dalam kehidupannya karena kisah Alkitab membawanya kepada satu visi
tentang ciptaan baru. Kalau boleh saya simpulkan, otoritas Alkitab menurut
Russell adalah otoritas yang pragmatis, tidak penting apakah Alkitab bisa salah
atau tidak, yang penting baginya adalah Alkitab itu memiliki kebergunaan dalam
kehidupannya.
Bertitik tolak
dari sini teolog feminis berani mengatakan bahwa Paulus tidak memiliki
pandangan yang konsisten tentang wanita. Hal ini terjadi karena Alkitab
dibentuk oleh kaum pria dari budaya patriarkhal sehingga banyak pengalaman
wahyunya diinterpretasi dan ditulis dari perspektif patriarkhal. Itu sebabnya
mengapa Paulus kadang-kadang menempatkan wanita dalam posisi lebih rendah
daripada pria, namun kadang-kadang juga sebaliknya. Jadi, ketika kita membaca
Alkitab, kita tidak boleh mengabsolutkan budaya pada saat Alkitab ditulis.
Jadi, untuk memperoleh kebenaran Allah, kita harus menghilangkan unsur-unsur
budaya ketika melakukan interpretasi.
Dengan pandangan
yang cukup negatif tentang Alkitab seperti yang diuraikan di atas, timbul
pertanyaan: berita positif apa yang terdapat dalam Alkitab bagi para feminis?
Menurut Russell, Alkitab adalah firman yang memerdekakan (liberating word).
Hal ini jelas terlihat sejak peristiwa eksodus yang dicatat dalam Alkitab
sampai zaman para nabi dan kemudian jauh hingga zaman Tuhan Yesus. Peristiwa
eksodus yang dicatat dalam Alkitab jelas memperlihatkan karya pembebasan Allah
bagi Israel dari penindasan Mesir. Nubuat yang disampaikan para nabi pun berbicara
tentang pembebasan dari penindasan, seperti yang dicatat dalam Yesaya 61:1-2.
Teks ini pulalah yang dikutip oleh Tuhan Yesus dalam Lukas 4:18-19 yang
dilanjutkan dengan pernyataan Tuhan Yesus pada ayat 21, “Pada hari ini genaplah
nats ini sewaktu kamu mendengarnya.”
Selanjutnya,
dengan sedikit permainan kata Russell mengatakan bahwa Alkitab bukan saja
merupakan the liberating word tetapi juga harus menjadi the liberated
word. Apa yang ia maksud dengan the liberated word? The liberated
word berarti Alkitab dibebaskan dari cara pandang patriarkhal. Caranya
adalah dengan membuang semua budaya patriarkhal yang telah membelenggu
teks-teks Alkitab, untuk menemukan berita pembebasan kaum wanita.
Senada dengan
pandangan di atas, menurut Ruether Alkitab harus dilihat sebagai tradisi profetik-mesianis,
yakni melihat Alkitab dari perspektif kritis, di mana tradisi biblikal harus terus-menerus
dievaluasi ulang dalam konteks yang baru. Yang ia maksud dengan evaluasi ulang
adalah melihat dan menilai Alkitab dengan paradigma pembebasan, dan konteksnya tidak
lain adalah pengalaman kaum wanita. Sedangkan yang dimaksud tradisi
profetikmesianik adalah, sebagaimana para nabi memberitakan penghakiman Allah,
demikian juga para feminis memberitakan penghakiman atas ketidakadilan yang
selama ini telah berlangsung, serta menuntut pertobatan dan adanya perubahan.
Kaum feminis tidak hanya dipanggil untuk memberitakan berita penghakiman
(profetik), namun ada juga unsur mesianisnya, artinya ada kabar “keselamatan”
bagi kaum wanita, yakni pembebasan dari ketidakadilan. Masih menurut Ruether,
tradisi profetik-mesianik ini menjadi ukuran atau norma untuk menilai teks-teks
Alkitab yang lain. Para feminis juga berpendapat bahwa teologi harus merupakan
gabungan antara pertanyaan budaya kontemporer dan jawabannya, di mana jawaban
tersebut ditentukan oleh latar belakang budaya kontemporer (budaya pada waktu
pertanyaan tersebut dilontarkan). Pada masa kini, situasi budaya ke mana
tradisi Kristen itu harus dihubungkan adalah bertumbuhnya kesadaran wanita atau
pengalaman kaum wanita di gereja. Oleh karena itu, pengalaman kaum wanita harus
menjadi sumber dan norma bagi teologi Kristen kontemporer yang serius.
Pendeknya, menurut Ruether, pengalaman manusia harus menjadi starting point dan
ending point dalam berteologi.
Bagian Alkitab
yang paling sering dikutip oleh teolog-teolog feminis dan diklaim sebagai dasar
teologi mereka, yang juga dikenal sebagai magna carta of humanity adalah
Galatia 3:2839 yang berbunyi: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang
Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan,
karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Galatia 3:28 dipandang
sebagai ayat yang membebaskan wanita dari penindasan, dominasi dan subordinasi
pria. Bagian-bagian lain yang juga berbicara tentang kesederajatan adalah:
Kejadian 34:12; Keluaran 21:7, 22:17, Imamat 12:1-5; Ulangan 24:1-4; 1 Samuel
18:25 yang berbicara bahwa wanita dan pria memiliki status sosial yang sama;
Hakim-hakim 4:4, 5:28-29; 2 Samuel 14:2, 20:16; 2 Raja-raja 11:3, 22:14;
Nehemia 6:14, adalah ayat-ayat yang memperlihatkan bahwa wanita memiliki tempat
dalam kehidupan religius dan sosial bangsa Israel, kecuali dalam hal keimaman;
sedangkan dalam Kejadian 1:27 dikatakan bahwa wanita dan pria adalah makhluk
yang sama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Berdasarkan
penafsiran terhadap ayat-ayat di atas khususnya Galatia 3:28, para feminis
menyimpulkan bahwa Paulus dengan jelas mengukuhkan kesetaraan antara pria dan
wanita dalam komunitas Kristen; pria dan wanita memiliki hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang sama baik di gereja maupun dalam rumah tangga.
Kesimpulan lain dari penafsiran ini ialah bahwa tujuan panggilan Kristen adalah
kemerdekaan. Selain itu, di dalam usaha menelaah sejarah kaum wanita di dalam
Alkitab, teologteolog feminis tidak hanya menemukan ide tentang kesederajatan
pria dan wanita. Di dalam Alkitab mereka ternyata menemukan bahwa Allah orang
Kristen bukan Allah yang paternal; dari sejumlah ayat yang terdapat di Alkitab
mereka menemukan bukti-bukti yang mendukung konsep Allah yang maternal. Itulah
sebabnya sebagian teolog feminis menuntut agar Allah tidak hanya disebut
sebagai Bapa tetapi juga Ibu. Secara tajam mereka pun mengkritik rumusan
baptisan yang berbunyi: “dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.”
Dari pandangan
mereka terhadap Alkitab secara ringkas dapat dikatakan bahwa bagi para feminis,
esensi kekristenan adalah panggilan kenabian serta pembebasan bagi kaum
tertindas. Atas dasar inilah para feminis menuntut adanya suatu pembaharuan
dalam teologi. Menurut mereka, hingga awal abad ke-19 karya-karya teologis dan
intelektual kebanyakan dihasilkan dari perspektif nonfeminis; dunia teologi dan
intelektual pada masa itu adalah dunia kaum lelaki. Sudah tiba saatnya
pengalaman kaum wanita menjadi pusat refleksi teologis dan menjadi kunci menuju
hermeneutik atau teori interpretasi.
0 comments:
Post a Comment