Search This Blog

Monday, April 21, 2014

FEMINISME KRISTEN



Dominasi kaum pria terhadap wanita telah berlangsung secara mengglobal jauh sebelum era globalisasi, menggoreskan luka yang dalam di hati banyak wanita. Wanita dianggap hanya bisa dan boleh tahu urusan dapur, anak dan rumah tangga. Kalaupun mereka boleh membaca, maka jenis bacaan yang “halal” bagi mereka hanyalah roman picisan atau komik bergambar. Pandangan yang merendahkan wanita bukan hanya ada diluar ke kristenan. Di dalam gereja sendiri, tragisnya, sering kali wanita dipandang sebagai harta milik, objek, polusi yang membahayakan, dan yang paling keras adalah wanita dinilai tidak mampu menjadi gambar Allah sehingga mereka dilarang untuk menjadi pemimpin, pengkhotbah dan pengajar dalam ibadah pelayan di gereja.
Paulus dalam surat-suratnya pun seolah-olah “mengonfirmasi” status dan peran wanita dalam gereja, misalnya di 1 Korintus 14:34-35 dan 1 Timotius 2:12-16. Pada kedua bagian tersebut Paulus melarang wanita berbicara dan mengajar dalam pertemuan-pertemuan jemaat. Bahkan secara tegas ia menulis bahwa Hawa-lah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa. Sikap Paulus tersebut sangat mempengaruhi cara gereja memperlakukan wanita. Selain oleh ayat-ayat tersebut, cara bapak-bapak gereja memperlakukan wanita juga banyak dipengaruhi oleh ajaran Yunani dan Talmud. Menurut William Barclay, pandangan orang Yahudi yang merendahkan wanita nampak dalam doa pagi pria Yahudi yang terdapat dalam Talmud. Di dalam doanya setiap pagi seorang Yahudi bersyukur karena Tuhan tidak menciptakannya sebagai seorang kafir, budak, atau wanita. Wanita pada masa itu dianggap rendah dan berada di bawah dominasi pria. Keadaan ini terus berlanjut selama berabad-abad tanpa ada perubahan.
Tidak heran jika timbul berbagai reaksi dari kaum wanita, mulai dari sekedar yang memendam rasa tidak puas hingga yang berani bersuara, bahkan yang lebih ekstrem, memberontak terhadap tatanan yang telah berurat berakar di masyarakat. Tidak heran pula jika di berbagai penjuru dunia kita akan menemukan gerakan kaum wanita yang dikenal dengan istilah “feminisme,” suatu gerakan yang dilandasi oleh kesadaran kaum wanita bahwa mereka adalah makhluk yang Tuhan ciptakan sederajat dengan pria.
Pengaruh gerakan ini juga merambah ke dalam dunia teologi abad dua puluh. Pada paruh kedua tahun 1960-an, teolog-teolog wanita dan mahasiswi sekolah teologi telah mengembangkan satu genre baru dalam pemikiran Kristen kontemporer yang dikenal sebagai teologi feminis. Teologi ini memiliki sprektrum yang luas dan terus berkembang sehingga kalau kita berbicara tentang teologi feminis Kristen, harus jelas teologi feminis Kristen yang mana, liberal, radikal atau evangelikal, karena masing-masing memiliki arah atau penekanan yang berbeda. Perbedaan yang cukup mencolok dari ketiga tipe tersebut adalah pandangan mereka terhadap Alkitab; feminis evangelikal mengklaim bahwa mereka percaya bahwa Alkitab adalah firman yang diinspirasikan Allah dan Alkitab adalah sumber teologi mereka, sedangkan yang liberal dan radikal tidak mengklaim bahwa mereka percaya Alkitab sebagai firman yang diinspirasikan Allah. Teologis feminis Kristen diwakili oleh Rosemary Radford Ruether, Letty M, Russell dan Elizabeth Schussler Fiorenza.
Pada abad pertengahan kaum wanita mulai menyadari bahwa mereka dimarginalkan dalam urusan gereja dan masyarakat; kesempatan yang mereka miliki sangat terbatas dan tempat yang tersedia bagi mereka hanyalah dalam rumah tangga. Kesadaran akan keadaan ini mulai membawa sedikit angin perubahan. Sejumlah wanita tampil sebagai penulis-penulis spiritual dan mistik pada masa ini. Beberapa karya tulis mereka menunjukkan adanya pengertian yang mendalam tentang isu-isu filsafat. Hanya, karya tulis tersebut tidak dalam bentuk seperti tulisan para teolog gereja tetapi lebih bersifat kontemplatif yang memperlihatkan pendekatan mereka terhadap masalah-masalah kehidupan, di mana kunci jawabannya mereka cari di dalam hal-hal spiritual.
Keadaan kaum wanita secara perlahan-lahan mengalami sedikit perubahan pada zaman Pencerahan. Semangat abad Pencerahan memberi dampak besar bagi bangkitnya para wanita terutama di Eropa. Beberapa wanita tampil ke permukaan dan melahirkan karya tulis ilmiah tentang wanita. Gagasan kesetaraan wanita dengan pria dituangkan dalam tulisan-tulisan mereka dalam bentuk esai, disertasi dan sebagainya. Pada abad berikutnya muncul beberapa wanita terkemuka yang memberikan kontribusi signifikan dalam bidang sains dan filsafat; sebagian lainnya memainkan peran penting di bidang seni, pendidikan dan politik.
Gerakan ini makin terasa pada abad kedua puluh khususnya di Barat. Di Amerika Serikat yang menjadi katalisator gerakan wanita modern adalah karya monumental Betty Friedan, The Feminine Mystique (1963) yang memberikan pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat di negara tersebut. Pengaruhnya dapat disejajarkan dengan karya Charles Darwin, The Origin of the Species. Sejak saat itu gerakan ini seolah tak terbendung lagi. Kini gerakan feminisme dapat kita jumpai di belahan bumi mana pun, sehingga tidak heran jika kita mengenal adanya black feminist theology di Afrika, feminis Islam di Indonesia, feminis Yahudi dan sebagainya. Sehingga cukup jelas bahwa teologi feminis lahir sebagai reaksi protes terhadap dominasi dan penindasan terhadap kaum wanita yang berlangsung di dalam dan di luar gereja selama berabad-abad. Teolog-teolog feminis sendiri yakin bahwa pendorong gerakan mereka berakar dari pengajaran Perjanjian Baru tentang bagaimana seharusnya orang Kristen berelasi satu dengan yang lain. Model relasi orang Kristen, khususnya pria dan wanita tidak bersifat hierarki melainkan kesederajatan yang sempurna dan tidak boleh ada lagi peran dalam masyarakat, gereja ataupun di rumah yang berdasar pada gender.
Feminisme di dalam belahan dunia sangat beragam dalam struktur, bentuk, penekanan dan sebagainya. Hal ini terlihat dari karya tulis mereka, buku-buku, maupun artikel-artikel yang mereka tulis. Namun, walaupun cukup beragam mereka masih memiliki persamaan yang menjadi cirri dari feminis, diantaranya: pertama, teologi Kristen tradisional bersifat patriarkhal. Kedua, teologi tradisional telah mengabaikan kaum wanita serta pengalaman mereka. Ketiga, natur teologi yang patriarkhal telah memberikan konsekuensi yang merusak bagi wanita. Keempat, sebagai solusi atas ketiga masalah di atas, itu wanita harus menjadi teolog yang memulai usaha teologis mereka. Sehingga yang menjadi penekanan feminism adalah “penindasan”, patriarchal” dan “kesetaraan”. Ketiga hal ini adalah problem yang harus dihadapi oleh wanita. Kaum wanita harus berjuang melawan penindasan yang diakibatkan oleh tembok-tembok patriarkhal guna mencapai kesetaraan dengan pria. Dengan kata lain, perjuangan kaum wanita pada dasarnya adalah perjuangan untuk meraih kebebasan dan secara ringkas dapat disimpulkan bahwa feminisme pada hakikatnya adalah suatu gerakan pembebasan kaum wanita dari sistem yang selama ini membuat mereka berada di marginal. Sedangkan teologi feminis dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk menjelaskan kembali iman Kristen dari perspektif wanita sebagai kelompok yang tertindas.
Kalau kita berbicara mengenai teologi seseorang atau sekelompok orang maka salah satu pertanyaan yang penting dan perlu diajukan adalah bagaimana pandangan orang atau kelompok orang tersebut terhadap Alkitab? Apakah Alkitab diterima sebagai firman Allah yang berotoritas? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya menunjukkan corak teologi yang dianut seseorang atau sekelompok orang tersebut. Jika ditanya mengenai inspirasi Alkitab maka para feminis akan segera menjawab bahwa mereka percaya inspirasi. Tetapi jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa itu artinya mereka masih berada di jalur iman Kristen yang ortodoks. Menurut Russell, inspirasi ilahi Alkitab berarti bahwa Roh Allah memiliki kuasa untuk membuat kisah Alkitab berbicara kepada kita dari iman menuju kepada iman. Alkitab diterima sebagai firman Allah apabila komunitas iman memahami Allah berbicara kepada mereka di dalam dan melalui berita Alkitab.
Pandangan “miring” tersebut tidak aneh karena kelompok feminis yang menyebut diri evangelikal pun memiliki keyakinan serupa. Menurut kelompok ini, Alkitab diinspirasikan oleh Allah dalam pengertian bahwa di dalam dan melalui kata-kata yang digunakan oleh penulis Alkitab, Allah memberikan firman-Nya. Allah memakai manusia yang terbatas untuk menyatakan kehendak-Nya. Firman Allah sempurna tetapi manusia, sebagai penulis Alkitab, terbatas. Jadi, ada peluang bagi ketidaksesuaian antara firman Allah yang kekal dan kata-kata yang digunakan oleh para penulis Alkitab. Atau dengan kata lain, Alkitab bersifat falibel serta tunduk pada keterbatasan manusia dalam menuangkan maksud Allah dalam kata-kata.
Hal serupa diungkapkan oleh Russell ketika ia berbicara tentang otoritas Alkitab. Alkitab berotoritas dalam kehidupannya karena Alkitab memahami pengalamannya dan berbicara kepadanya tentang makna dan tujuan kemanusiaannya di dalam Yesus Kristus. Sehingga, meskipun Alkitab ditulis dari sudut pandang patriarkhal, dan juga terdapat ketidakkonsistenan atau kontradiksi, tetap saja Alkitab berotoritas dalam kehidupannya karena kisah Alkitab membawanya kepada satu visi tentang ciptaan baru. Kalau boleh saya simpulkan, otoritas Alkitab menurut Russell adalah otoritas yang pragmatis, tidak penting apakah Alkitab bisa salah atau tidak, yang penting baginya adalah Alkitab itu memiliki kebergunaan dalam kehidupannya.
Bertitik tolak dari sini teolog feminis berani mengatakan bahwa Paulus tidak memiliki pandangan yang konsisten tentang wanita. Hal ini terjadi karena Alkitab dibentuk oleh kaum pria dari budaya patriarkhal sehingga banyak pengalaman wahyunya diinterpretasi dan ditulis dari perspektif patriarkhal. Itu sebabnya mengapa Paulus kadang-kadang menempatkan wanita dalam posisi lebih rendah daripada pria, namun kadang-kadang juga sebaliknya. Jadi, ketika kita membaca Alkitab, kita tidak boleh mengabsolutkan budaya pada saat Alkitab ditulis. Jadi, untuk memperoleh kebenaran Allah, kita harus menghilangkan unsur-unsur budaya ketika melakukan interpretasi.
Dengan pandangan yang cukup negatif tentang Alkitab seperti yang diuraikan di atas, timbul pertanyaan: berita positif apa yang terdapat dalam Alkitab bagi para feminis? Menurut Russell, Alkitab adalah firman yang memerdekakan (liberating word). Hal ini jelas terlihat sejak peristiwa eksodus yang dicatat dalam Alkitab sampai zaman para nabi dan kemudian jauh hingga zaman Tuhan Yesus. Peristiwa eksodus yang dicatat dalam Alkitab jelas memperlihatkan karya pembebasan Allah bagi Israel dari penindasan Mesir. Nubuat yang disampaikan para nabi pun berbicara tentang pembebasan dari penindasan, seperti yang dicatat dalam Yesaya 61:1-2. Teks ini pulalah yang dikutip oleh Tuhan Yesus dalam Lukas 4:18-19 yang dilanjutkan dengan pernyataan Tuhan Yesus pada ayat 21, “Pada hari ini genaplah nats ini sewaktu kamu mendengarnya.”
Selanjutnya, dengan sedikit permainan kata Russell mengatakan bahwa Alkitab bukan saja merupakan the liberating word tetapi juga harus menjadi the liberated word. Apa yang ia maksud dengan the liberated word? The liberated word berarti Alkitab dibebaskan dari cara pandang patriarkhal. Caranya adalah dengan membuang semua budaya patriarkhal yang telah membelenggu teks-teks Alkitab, untuk menemukan berita pembebasan kaum wanita.
Senada dengan pandangan di atas, menurut Ruether Alkitab harus dilihat sebagai tradisi profetik-mesianis, yakni melihat Alkitab dari perspektif kritis, di mana tradisi biblikal harus terus-menerus dievaluasi ulang dalam konteks yang baru. Yang ia maksud dengan evaluasi ulang adalah melihat dan menilai Alkitab dengan paradigma pembebasan, dan konteksnya tidak lain adalah pengalaman kaum wanita. Sedangkan yang dimaksud tradisi profetikmesianik adalah, sebagaimana para nabi memberitakan penghakiman Allah, demikian juga para feminis memberitakan penghakiman atas ketidakadilan yang selama ini telah berlangsung, serta menuntut pertobatan dan adanya perubahan. Kaum feminis tidak hanya dipanggil untuk memberitakan berita penghakiman (profetik), namun ada juga unsur mesianisnya, artinya ada kabar “keselamatan” bagi kaum wanita, yakni pembebasan dari ketidakadilan. Masih menurut Ruether, tradisi profetik-mesianik ini menjadi ukuran atau norma untuk menilai teks-teks Alkitab yang lain. Para feminis juga berpendapat bahwa teologi harus merupakan gabungan antara pertanyaan budaya kontemporer dan jawabannya, di mana jawaban tersebut ditentukan oleh latar belakang budaya kontemporer (budaya pada waktu pertanyaan tersebut dilontarkan). Pada masa kini, situasi budaya ke mana tradisi Kristen itu harus dihubungkan adalah bertumbuhnya kesadaran wanita atau pengalaman kaum wanita di gereja. Oleh karena itu, pengalaman kaum wanita harus menjadi sumber dan norma bagi teologi Kristen kontemporer yang serius. Pendeknya, menurut Ruether, pengalaman manusia harus menjadi starting point dan ending point dalam berteologi.
Bagian Alkitab yang paling sering dikutip oleh teolog-teolog feminis dan diklaim sebagai dasar teologi mereka, yang juga dikenal sebagai magna carta of humanity adalah Galatia 3:2839 yang berbunyi: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Galatia 3:28 dipandang sebagai ayat yang membebaskan wanita dari penindasan, dominasi dan subordinasi pria. Bagian-bagian lain yang juga berbicara tentang kesederajatan adalah: Kejadian 34:12; Keluaran 21:7, 22:17, Imamat 12:1-5; Ulangan 24:1-4; 1 Samuel 18:25 yang berbicara bahwa wanita dan pria memiliki status sosial yang sama; Hakim-hakim 4:4, 5:28-29; 2 Samuel 14:2, 20:16; 2 Raja-raja 11:3, 22:14; Nehemia 6:14, adalah ayat-ayat yang memperlihatkan bahwa wanita memiliki tempat dalam kehidupan religius dan sosial bangsa Israel, kecuali dalam hal keimaman; sedangkan dalam Kejadian 1:27 dikatakan bahwa wanita dan pria adalah makhluk yang sama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Berdasarkan penafsiran terhadap ayat-ayat di atas khususnya Galatia 3:28, para feminis menyimpulkan bahwa Paulus dengan jelas mengukuhkan kesetaraan antara pria dan wanita dalam komunitas Kristen; pria dan wanita memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama baik di gereja maupun dalam rumah tangga. Kesimpulan lain dari penafsiran ini ialah bahwa tujuan panggilan Kristen adalah kemerdekaan. Selain itu, di dalam usaha menelaah sejarah kaum wanita di dalam Alkitab, teologteolog feminis tidak hanya menemukan ide tentang kesederajatan pria dan wanita. Di dalam Alkitab mereka ternyata menemukan bahwa Allah orang Kristen bukan Allah yang paternal; dari sejumlah ayat yang terdapat di Alkitab mereka menemukan bukti-bukti yang mendukung konsep Allah yang maternal. Itulah sebabnya sebagian teolog feminis menuntut agar Allah tidak hanya disebut sebagai Bapa tetapi juga Ibu. Secara tajam mereka pun mengkritik rumusan baptisan yang berbunyi: “dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.”
Dari pandangan mereka terhadap Alkitab secara ringkas dapat dikatakan bahwa bagi para feminis, esensi kekristenan adalah panggilan kenabian serta pembebasan bagi kaum tertindas. Atas dasar inilah para feminis menuntut adanya suatu pembaharuan dalam teologi. Menurut mereka, hingga awal abad ke-19 karya-karya teologis dan intelektual kebanyakan dihasilkan dari perspektif nonfeminis; dunia teologi dan intelektual pada masa itu adalah dunia kaum lelaki. Sudah tiba saatnya pengalaman kaum wanita menjadi pusat refleksi teologis dan menjadi kunci menuju hermeneutik atau teori interpretasi.

0 comments:

Post a Comment