Bukan lautan hanya kolam susu… katanya
Tapi kata kakekku hanya orang-orang kaya yang bisa
minum susu
Kail dan jala cukup menghidupmu… katanya
Tapi kata kakekku ikan-ikan kita dicuri oleh banyak
Negara
Tiada badai tiada topan kau temui… katanya
Ikan dan udang menghampiri dirimu… katanya
Tapi kata kakek, awas ada udang di balik batu
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan
batu jadi tanaman… katanya
Tapi kata dokter intel, belum semua rakyatnya
sejahtera banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk surganya sendiri.
Puisi diatas dikutipdari film “Tanah Surga… Katanya”
yang dibacakan oleh Salman salah satu murid terpintar di sebuah sekolah
terpencil di Kalimantan Barat saat menyambut orang atasan Negara. Pembacaan
puisi dalam film tersebut sontak membuat sang pejabat tidak lagi nyaman berada
dalam lokasi tersebut dan menyegerakan
diri untuk pergi.
Tanah kita memang tanah surga. Kekayaan alam yang
berlimpah sudah menjadi warisan titipan Tuhan yang sangat berharga bagi negeri
kita. Tiada yang memungkiri akan kekayaan alam tersebut. Sudah seharusnya
titipan kekayaan alam ini membawa kesejahteraan yang berlimpah bagi rakyat
Indonesia. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Telah menjadi catatan sejarah bahwa
Negara-negara penjajah yang menduduki Indonesia berpuluh-puluh tahun untuk
menikmati kekayaan alam kita. Dengan melakukan berbagai tindakan kekuasaan,
kekerasan dan pemerasan mereka menjajah negeri kita dengan tindakan yang nyata.
Dan 67 tahun setelah kemerdekaan, Indonesia tetap dijajah namun dalam bentuk
yang berbeda.
Kekayaan
alam kita telah dikuasai oleh sebagian kecil pihak-pihak yang memiliki kuasa
(korporasi) ke dalam pemerintahan. Mereka mengelola tanah Indonesia namun
kesejahteraan belum berpihak bagi keseluruhan rakyat Indonesia terkhusus para
petani Indonesia. Oleh karenanya, mari bersama bereaksi dan berjuang melawan
kejahatan-kejahatan korporatokrasi.
Sektor pertanian merupakan sektor
yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian
nasional. Sektor ini merupakan sektor yang tidak mendapatkan perhatian secara
serius dari pemerintah dalam pembangunan bangsa. Mulai dari proteksi, kredit
hingga kebijakan lain tidak satu pun yang menguntungkan bagi sektor ini.
Program-program pembangunan pertanian yang tidak terarah tujuannya bahkan
semakin menjerumuskan sektor ini pada kehancuran.
Pihak korporasi
dan birokrasi dengan alasan ingin meningkatkan
perekonomian khususnya pertanian Indonesia, tetapi pada faktanya ialah
menggerogoti pertanian kita. Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry
Saragih,“sampai sekarang belum ada satu pun kasus
dengan masuknya korporasi, petani menjadi sejahtera”. Ia mencontohkan masuknya perusahaan agribisnis dalam
perkebunan sawit. Petani kecil dan masyarakat adat terpinggirkan karena
tanahnya diambil alih oleh perusahaan. Konflik tanah banyak terjadi di
perkebunan sawit. Sementara itu, rakyat kesulitan membeli minyak goreng karena
harganya meningkat. Perusahaan semakin senang dengan peningkatan harga karena
pendapatan meningkat, sedangkan rakyat yang kelaparan. Inilah model permainan
yang dilakukan oleh para korporasi.
Menurut Salikin (2003), “salah
satu ‘dosa’ besar pembangunan pertanian
industrial adalah standarisasi yang merupakan penyeragaman yang menyesatkan”. Standarisasi memang dipuji sebagai faktor krusial untuk
meraih produktivitas dan efisiensi ekonomi. Standarisasi dilakukan oleh para
pengusaha agribisnis untuk mendapatkan produk pertanian yang seragam sesuai
dengan selera dan tuntutan pasar. Para pengusaha pertanian di dunia ini boleh
dikatakan memiliki pola pikir yang seragam, yaitu bagaimana menggunakan bibit
unggul yang sama, dosis pupuk dan obat-obatan yang sama, serta mesin-mesin yang
sama. Tanaman dan hewan pun diatur supaya tumbuh dan berkembang secara seragam
sehingga memudahkan pemanenan, pengemasan dan pengangkutan sampai ke outlet supermarket-supermarket di
kota-kota besar. Akibatnya, para petani menjadi sangat ketergantungan akan
input pertanian.
Pada penggunaan bibit unggul untuk mencapai
standarisasi, pihak korporasi memberikan benih hibrida dengan varietas yang
selalu diperbarui. Varietas ini hanya responsif bila pemakaian input (misalnya pupuk
NPK, pestisida dan ketersediaan air) dalam kondisi yang sempurna, sehingga
mampu berproduksi lebih tinggi dari benih varietas lokal (tradisional). Menurut
Goering (1993), “pihak
korporasi menciptakan ketergantungan petani untuk selalu membeli benih buatan
pabrik setiap musim tanam”. Beginilah
model penguasaan korporasi dengan menciptakan ketergantungan pada petani hingga
akhirnya mereka sangat leluasa mengeksploitasi pertanian dan petani kita
menjadi ‘total
konsumen’.
Sekarang ini,
jumlah dan jenis sumberdaya benih, pupuk dan alat mesin pertanian selalu
meningkat serta terkonsentrasi pada industri-industri pertanian yang menguasai
pangsa pasar dunia; karena adanya upaya-upaya monopoli terselubung dengan
berkedok hak paten dan persaingan dagang untuk terus mengembangkan benih-benih
unggul. Industri pertanian raksasa berkelas dunia (misalnya Shell, ICI, Ciba,
Geigy, ITT, Unilever, Bayer, Monsanto, dan Dupont) selalu berkompetisi
menghasilkan benih-benih varietas unggul untuk dipasarkan kepada petani-petani
miskin di negara-negara berkembang. Ini merupakan bentuk kapitalisme ekonomi
dengan memanfaatkan kecanggihan.
Keberpihakan
pemerintah terhadap korporasi jelas terlihat pada Forum Ekonomi Dunia di
Jakarta, Juni 2011 lalu, Indonesia resmi mengadopsi pendekatan ekonomi hijau.
Dengan formula 20-20-20 (meningkatkan produksi pangan 20%, menekan emisi gas
rumah kaca 20%, dan menekan kemiskinan 20%), pemerintah menggandeng 14
korporasi multinasional seperti Nastle, Monsanto, Unilever, dan Danone. Agenda
ekonomi hijau hanya kelanjutan dan bagian dari usaha melempangkan jalan
korporatokrasi pangan yang telah berjalan. Bukankah sejumlah MNCs seperti
Danone (Perancis), Unilever (Inggris), Nestle (Swiss), Coca-Cola (AS), HJ Heinz
(AS), Campbels (AS), Numico (Belanda), dan Phillip Morris (AS) sudah sejak lama
mencaplok produk pangan lokal. Kecap dan Saus ABC misalnya, 65% sahamnya
dimiliki HJ Heinz, seluruh saham PT Sariwangi dicaplok Unilever, 75% saham Aqua
dimiliki Danone, dan 100% saham Ades dimiliki Coca-Cola. Alih-alih mendongkrak
produksi pangan, menekan emisi gas rumah kaca, dan kemiskinan, mengadopsi
ekonomi hijau bisa jadi justru melanggengkan penjajahan sumber daya alam dan manusia Indonesia, khususnya petani.
Pemerintah Indonesia selalu berpihak kepada korporasi-korporasi besar yang
menjanjikan keuntungan pribadi ketimbang mensejahterakan rakyatnya.
Jika kita
kaitkan dengan fungsi BULOG yang dulunya menangani 9 komoditi pertanian, tapi
sekarang hanya 1 komoditi yaitu beras, bahwa ternyata cukup jelas tentang
keberpihakan pemerintah pada pihak korporasi, dimana pemerintah hanya menangani
1 komoditi yang pada akhirnya pihak korporasilah yang akan berkuasa dan
memonopoli komoditi lainnya.
Baru-baru ini
terjadi kasus tentang pelaporan Indonesia oleh AS dan Australia ke WTO atas
tindakan Indonesia yang melakukan stop impor pada produk hortikultura, buah dan daging yang dinilai melanggar aturan
perdagangan global. Indonesia
resmi mejadi anggota WTO melalui ratifikasi UU No.7 tahun 1994 tentang
Ratifikasi pembentukan WTO. WTO adalah organisasi yang mengatur perdagangan
dunia dengan menuntut Negara-negara anggotanya untuk membuka pasar
seluas-luasnya bagi perdagangan internasional melalui penghapusan berbagai
hambatan dalam perdagangan baik dalam bentuk tariff maupun non-tarif. Terutama
dalam pemaksaan membuka keran impor, pasal-pasal dalam WTO (dan juga perjanjian
perdagangan bebas, FTA) jelas menggerus kedaulatan pangan kita. Pasar dan harga
domestik hancur.
Belum lagi pada kebijakan pertanian
yang dibuat pemerintah masih pro pada korporasi. Contohnya: UU Agraria mulai
dibuat tahun1960 sampai sekarang belum direformasi, hal ini jelas supaya pihak
korporasi tetap leluasa menguasai pertanahan masyarakat. Demikian halnya dengan
RUU pangan. RUU ini merupakan salah satu RUU inisiatif DPR dan memiliki banyak
kelemahan dan bahaya. RUU ini justru mengusung liberalisasi sektor pangan. Hal
itu tampak dari diberinya kesempatan luas bagi daerah dan akhirnya kepada
swasta untuk mengimpor pangan. Bahkan impor pangan menjadi salah satu sumber
penyediaan cadangan pangan dan mewujudkan ketersediaan pangan. Ironisnya,
Indonesia sebenarnya bisa memproduksi sendiri bahan pangan tersebut akan tetapi
sekali lagi pemerintah lebih memilih impor, yang menunjukkan keberpihakan
pemerintah pada korporasi-korporasi besar yang menjanjikan keuntungan pribadi
daripada mensejahterakan rakyatnya.
0 comments:
Post a Comment