Masih segar dalam ingatan kita bagaimana tragedi kemanusian yang terjadi
hampir secara bersamaan di Mesuji dan Bima akhir tahun 2011.
Tragedi yang begitu menarik perhatian masyarakat terjadi lantaran konflik
antara korporasi yang mewakili pemilik modal dan masyarakat setempat yang
merasakan ketidakadilan.
Bahkan, masyarakat cenderung ditindas dalam waktu yang lama. Sejatinya,
pemerintah yang memiliki kekuasaan dari rakyat dapat melindungi dan memperjuangkan
nasib rakyatnya yang terjajah korporasi.
Namun, yang terjadi di lapangan adalah pemerintah justru tunduk dan patuh
terhadap kepentingan ekonomi korporasi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah
pemerintah memiliki lembaga hukum, kekuatan militer, dan kedaulatan kekuasaan
dari rakyatnya?
Kendali Korporasi
Meminjam istilah John Perkins (2004) korporatokrasi menggambarkan bagaimana
korporasi-korporasi besar mampu mengendalikan dan mendikte, bahkan terkadang
mampu membeli pemerintahan untuk melanggengkan kepentingan ekonomi mereka.
Sepertinya praktek ini jelas sedang terjadi di negara ini.
Cara kerja korporatokrasi ini mirip mafia karena menggunakan berbagai
taktik dan strategi untuk mencapai tujuannya, termasuk membunuh masyarakat yang
tidak berdosa dan menghancurkan alam. David Korten (2007) menambahkan betapa
mengerikannya korporatokrasi ketika korporasi-korporasi besar memperoleh
kekuasaan otonom dan makin terasingkan dari masyarakat tempatnya. Kepentingan
korporasi dan kepentingan kemanusiaan semakin jauh berbeda.
Cara paling mudah bagi korporasi untuk menaklukan kekuatan politik adalah
dengan memberikan biaya politik ketika calon presiden, gubernur, atau bupati
dan wali kota melakukan kampanye menjelang pemilihan umum.
Calon yang terpilih tidak bisa tidak pasti akan membalas budi pada
korporasi yang telah menggelontorkan dana kampanye. Tujuannya jelas, agar
pemerintah yang berkuasa dapat menjadi fasilitator kepentingan korporat.
Fenomena ini jelas merupakan bentuk dari penggadaian demokrasi. Pemilihan umum
yang sejatinya merupakan harapan untuk menghasilkan pemimpin yang mampu
memperjuangkan aspirasi rakyat dan masa depan bangsa ternyata telah berubah
menjadi demokrasi korporat.
Semua itu hanya untuk memuaskan keserakahan korporat dan pemerintahan yang
korup. Maka, tidaklah heran dalam banyak kasus yang melibatkan rakyat kecil
dengan pemilik modal, baik kepolisian maupun militer yang berada di bawah
kekuasaaan pemerintah, lebih sering cenderung membela kepentingan pemilik
modal.
Cara lain yang bahkan lebih efektif lagi bagi korporasi besar dalam
menaklukkan sistem kekuasaan adalah dengan langsung menduduki posisi-posisi
penting dalam seperti jabatan wakil presiden atau gubernur, menteri, pimpinan
parpol, anggota DPR, dan lain-lain.
Di Amerika Serikat, Dick Cheney, wakil presiden di era George Bush Jr.,
sebelumnya memegang jabatan sebagai CEO Halliburton yang berbasis di Dallas,
Texas. Sekalipun secara formal dia mengaku tidak lagi memiliki hubungan dengan
Halliburton, bukti-bukti di lapangan menunjukkan keterkaitan itu semakin akrab.
Buktinya, Halliburton memenangi kontrak bernilai miliaran dolar AS untuk
melakukan rekonstruksi Irak.
Kanker Politik
Di Indonesia sendiri, dalam kasus wisma atlet yang melibatkan M.
Nazaruddin, sebagai anggota DPR sekaligus sebagai bendahara umum Partai
Demokrat, melakukan praktek yang yang hampir sama. Yakni, menjadikan
perusahaan-perusahaan miliknya sebagai alat untuk mendapatkan berbagai macam
proyek pemerintah setelah ia menduduki posisi strategis dalam sistem kekuasaan.
Sekalipun PT Duta Graha Indah sebagai pemenang tender proyek pembangunan
wisma atlet di Jakabaring bukanlah milik Nazaruddin, perusahaan ini memenangkan
proyek tersebut atas bantuan perusahaan-perusahaan milik Nazaruddin.
Dalam situasi seperti ini, praktek demokrasi yang seharusnya bermakna dari,
oleh, dan untuk rakyat kini telah berubah menjadi dari, oleh, dan untuk pemilik
modal. Keluhuran nilai-nilai demokrasi yang selama ini diagung-agungkan telah
tergadaikan oleh pemerintahan korup.
Korporatokrasi menjadi kanker
politik yang terus menghancurkan moralitas dan nurani para pemimpin rakyat yang
masih saja bermental jongos alias menjadi budak-budak kaum pemilik modal. Bila
kondisi ini terus berlangsung, sepertinya kita harus berpikir ulang tentang
keberadaan dan keutuhan Indonesia 100 tahun mendatang.
Hitman Memang Ada
Hitman ekonomi itu memang ada. John Perkins, dalam bukunya
yang berjudulConfessions of an Economic Hit Man berkata,
“Saya seorang hitman.”
Siapa dan apa gerangan Perkins danhitman itu sendiri?
Secara khusus hitman ekonomi
diartikan sebagai seseorang yang dibayar secara professional untuk
"mengintip" negara-negara di seluruh dunia. Mereka bertugas mengepak
uang dari Bank Dunia, agen AS untuk pembagunan ekonomi dunia dan organisasi
bantuan luar negeri lainnya kepada sebagian kecil korporasi besar dan
segelintir orang kaya di sebuah negara yang mengontrol kekayaan alamnya.
Perlengkapan mereka adalah laporan finansial, pemilu, seks, dan pembunuhan.
Mereka memainkan perannya seperti memainkan sebuah kerajaan besar, dan menyesuaikan
diri dengan dimensi globalisasi.
“Kami sebuah klub kecil yang
ekslusif. Kami dibayar, sangat mahal, untuk meneliti negara-negara di seluruh
dunia. Tugas besar kami adalah membuat para pemimpin dunia mau menerapkan kepentingan
komersial AS. Pada akhirnya para pemimpin negara ini terperangkap dalam
jaringan utang yang harus membuat mereka setia (kepada AS).” Perkins memaparkan
deskripsi pekerjaannya.
Sebagai seorang hitman ekonomi,
Perkins plesir ke berbagai negara di Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah. Dia
menulis kerja Shah Iran dengan tinta emas, melumatkan Indonesia, dan bahkan
kekonyolan pangeran-pangeran Arab Saudi. Dia bekerja sama dengan presiden
Panama Omar Torrijos dan presiden Ekuador Jaime Roldos, dua orang yang Perkins
sebut sebagai “semangat keluarga”. “Mereka berdua dilenyapkan karena mereka
menentang kemapanan korporatokrasi yang tujuannya adalah mendirikan kerajan
dunia.” demikian Perkins.
Perkins menerangkan bahwa
kekacauan dalam laju ekonomi global sekarang adalah sesuatu yang tak bisa
dideteksi oleh para hitman ekonomi.
Ia menyebutkan bahwa di dunia ini hanya ada enam negara yang sekarang ini
menolak korporatokrasi dalam pemilu mereka, yaitu Chile, Argentina, Brazil,
Uruguay, Venezuela, and Ekuador. Selebihnya, termasuk Indonesia, masih lekat
dengan dominasi korporatokrasi.
0 comments:
Post a Comment