Search This Blog

Monday, February 24, 2014

“ Eksploitasi Pertanian Indonesia; Korporasi Dan Birokrasi Dalam Topeng Agribisnis ”



Makalah Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah
SEMA FE-UH 2013
Tema Umum           : Ada Apa Dengan Panggung Korporatokrasi Dan Kesengsaraan
                                  Gerak Mahasiswa?
Subtema Makalah  : Praktek Agribisnis; Upaya Melanggengkan Kapitalisme

Judul                       : EKSPLOITASI PERTANIAN INDONESIA; KORPORASI DAN 
                                   BIROKRASI DALAM TOPENG AGRIBISNIS




BAB I. PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Negara kita tercinta Indonesia yang dikenal kaya akan sumber daya alam namun sebagian besar masyarakatnya ada di bawah garis kemiskinan. Kelebihan lain selain sumber daya alam yang melimpah negara kita dianugrahi dengan letak wilayah yang strategis dengan iklim tropis yang memungkinkan radiasi matahari diterima sepanjang tahun, suhu di Indonesia yang sangat optimal sangat baik bagi pertumbuhan tanaman. Hampir segala jenis tanaman yang ada di wilayah dunia lain dapat tumbuh di tanah Indonesia ini. Bahkan ada pepetah yang bilang bahwa tongkat yang ditanam di atas bumi Indonesia pun akan dapat menjadi pohon karena kesuburan tanahnya.
Dengan segala potensi sumberdaya alam yang sangat besar dan letak geografis serta iklim tropisnya itu seharusnya pada saat ini Indonesia menjadi negara yang maju dalam bidang pertanian pada khususnya. Namun faktanya kondisi pertanian kita masih rapuh, dan sangat labil dalam persaingan di tingkat global. Kenapa hal tersebut terjadi? Untuk memahami masalah-masalah ini, kita perlu mengenali apa yang disebut kapitalisme. Apa artinya kapitalisme ? kapitalisme adalah system pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh (termasuk buruh tani dan buruh perkebunan) dari alat-alat produksi. Dengan cara produksi semacam inilah, maka keuntungan (nilai lebih) tidak jatuh ke tangan buruh, melainkan jatuh ke tangan majikan (pemilik modal/kapital).
Globalisasi saat ini semakin membuka ruang untuk praktek-praktek kapitalisme. Hal ini dikarenakan tidak adanya batasan antar negara dalam hal pasar dan menjadikan negara dunia ketiga sebagai objek eksploitasi bagi negara-negara kapitalis. Bentuk standarisasi di bidang pertanian yang merupakan bagian dari globalisasi membuat pertanian Indonesia dianggap kurang berhasil. Hal ini dikarenakan adanya perbandingan (standarisasi) skala Internasional, dimana standarisasi ini sangat jauh untuk bisa dicapai oleh pertanian Indonesia karena indikator yang digunakan adalah indikator negara-negara maju. Indonesia kalah pada alat dan mesin-mesin pertanian yang unggul, produksi benih/bibit unggul dan modal. Dengan adanya standarisasi Internasional tersebut menjadi lampu hijau bagi pihak kapitalis menyusup sebagai Tuhan yang akan memenuhi standarisasi. Yang pada akhirnya penguasaan pertanian hanya dikuasai oleh pihak korporasi dan birokrasi. Perputaran uang hanya pada dua pilar tersebut dan petani hanya mendapat percikan-percikan.
Semakin kuatnya pihak kapitalis, maka semakin memonopoli pasar. Berbagai macam sarana produksi mulai dari benih, alat mesin pertanian pestisida, modal, dan kriteria pasar dimonopoli oleh korporasi dan birokrasi  melalui aturan-aturan. Ini merupakan skenario pemusnahan sumberdaya lokal. Negara-negara dunia ketiga harus tunduk pada mekanisme kapitalis, jika ingin menembus pasar Internasional. Sangat sadis, karena segalanya menjadi ketergantungan atas input luar, inilah yang disebut dengan “Total Konsumen”. Sekalipun ada penyerahan proses produksi, namun tidak lantas mendudukkan petani di negara dunia ketiga menjadi produsen, karena sifatnya hanya melakukan perintah, yang posisi tawarnya serba lemah dalam segala hal. Makalah ini akan membahas tentang posisi korporasi dan birokrasi dalam penguaasaannya di bidang pertanian dengan konsep agribisnis.
B. Rumusan Masalah
Pembahasan tentang peran pihak korporasi dan birokrasi dalam konteks agribisnis dianggap penulis sangat luas, oleh sebab itu penulis hanya akan membahas bebrapa point berikut:
  1. Bagaimana konsep agribisnis dan penerapannya?
  2. Bagaimana relasi kapitalisme dengan konsep agribisnis yang diterapkan di Indonesia?
  3. Apa solusi gerakan mahasiswa yang bisa ditawarkan?
C. Tujuan
            Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah:
Ø  Sebagai pra syarat untuk mengikuti screening Latihan Kepemimpinan Tingkat Mahasiswa Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Ø  Menambah wacana terkait problematika pertanian di Indonesia.



BAB II. PEMBAHASAN

A. Konsep Agribisnis Dan Penerapannya
Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Sektor ini merupakan sektor yang tidak mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dalam pembangunan bangsa. Mulai dari proteksi, kredit hingga kebijakan lain tidak satu pun yang menguntungkan bagi sektor ini. Program-program pembangunan pertanian yang tidak terarah tujuannya bahkan semakin menjerumuskan sektor ini pada kehancuran. Meski demikian sektor ini merupakan sektor yang sangat banyak menampung luapan tenaga kerja dan sebagian besar penduduk kita tergantung padanya (Ismpi Bpp, 2009).
Perjalanan pembangunan pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani dan kontribusinya pada pendapatan nasional. Pembangunan pertanian di Indonesia dianggap penting dari keseluruhan pembangunan nasional. Ada beberapa hal yang mendasari mengapa pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan penting, antara lain: potensi sumber daya alam yang besar dan beragam, pangsa terhadap pendapatan nasional yang cukup besar, besarnya pangsa terhadap ekspor nasional, besarnya penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya
pada sektor ini, perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Selain itu, menurut Classical economists seperti Adam Smith, John Stuart Mill dan David Ricardo mengisyaratkan pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada sumberdaya alam (Yustika, 2005). Potensi pertanian Indonesia yang besar namun pada kenyataannya sampai saat ini sebagian besar dari petani kita masih banyak yang termasuk golongan miskin. Sebagaimana dikatakan presiden Susilao Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyampaikan sambutan pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan di Istana negara awal Desember 2005 menyebutkan bahwa 55% dari jumlah penduduk miskin adalah petani (Arifin, 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah kurang memberdayakan petani tetapi juga terhadap sektor pertanian keseluruhan (
Ismpi Bpp, 2009).

Untuk mengembangkan pertanian, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan konsep Agribisnis. Menurut Prof. Dr. Soekartawi dalam bukunya “Agribisnis: Teori dan Aplikasinya” (2010) menjelaskan bahawa pada umumnya banyak orang yang belum paham tentang konsep agribisnis. Agribisnis diartikan sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Padahal, konsep agribisnis yang sebenarnya adalah suatu konsep yang utuh, mulai dari proses produksi, pengolahan hasil, pemasaran, dan aktivitas lain yang berkaitan dengan pertanian. Menurut Arsyad dkk (1985), yang dimaksud dengan agribisnis adalah:
“suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas. Dalam arti luas maksudnya adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian.”



Dengan konsep agribisnis ini lah pihak korporasi mengeksploitasi seluruh kegiatan pertanian mulai dari hulu sampai hilir. Alasan ingin meningkatkan  perekonomian khususnya pertanian Indonesia yang pada faktanya ialah menggerogoti pertanian kita. Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih (2008), sampai sekarang belum ada satu pun kasus dengan masuknya korporasi, petani menjadi sejahtera. Ia mencontohkan masuknya perusahaan agribisnis dalam perkebunan sawit. Petani kecil dan masyarakat adat terpinggirkan karena tanahnya diambil alih oleh perusahaan. Konflik tanah banyak terjadi di perkebunan sawit. Sementara itu, rakyat kesulitan membeli minyak goreng karena harganya meningkat. Perusahaan semakin senang
dengan peningkatan harga karena pendapatan meningkat, sedangkan rakyat yang kelaparan. Inilah model permainan yang dilakukan oleh para
korporasi (Daniri, 2008).
Dalam sejarah pertanian ini merupakan salah satu akibat dari pola inti plasma (nucleus-smallholder) sebagai salah satu bentuk agrobisnis melalui contract farming. Menurut Henry (2008), dengan masuknya korporasi, peningkatan produksi memang terjadi, tetapi jutaan kaum tani dirugikan. Jadi, surplus ekonomi pertanian dan pangan yang dulunya meskipun kecil dapat dinikmati oleh petani, kini setelah masuknya perusahaan ke sektor pertanian menjadi milik perusahaan. Selain itu, dampak berkuasanya pihak korporasi pada petani ialah semakin  sedikit petani kita yang memiliki kemampuan memproduksi pupuk, benih, dan juga ramuan tradisional pengendali hama. Dan jika kemudian perusahaan tidak saja masuk input produksi, bahkan melakukan sendiri kegiatan produksi pertanian (on farm), makin habislah ekonomi yang bisa dinikmati
rakyat (Daniri, 2008).
Menurut Salikin (2003), salah satu “dosa” besar pembangunan pertanian industrial adalah standarisasi yang merupakan penyeragaman yang menyesatkan. Standarisasi memang dipuji sebagai faktor krusial untuk meraih produktivitas dan efisiensi ekonomi. Standarisasi dilakukan oleh para pengusaha agribisnis untuk mendapatkan produk pertanian yang seragam sesuai dengan selera dan tuntutan pasar. Para pengusaha pertanian di dunia ini boleh dikatakan memiliki pola pikir yang seragam, yaitu bagaimana menggunakan bibit unggul yang sama, dosis pupuk dan obat-obatan yang sama, serta mesin-mesin yang sama. Tanaman dan hewan pun diatur supaya tumbuh dan berkembang secara seragam sehingga memudahkan pemanenan, pengemasan dan pengangkutan sampai ke outlet supermarket-supermarket di kota-kota besar. Akibatnya, para petani menjadi sangat ketergantungan akan input pertanian.
Pada penggunaan bibit unggul untuk mencapai standarisasi, pihak korporasi memberikan benih hibrida dengan varietas yang selalu diperbarui. Varietas ini hanya responsif bila pemakaian input (misalnya pupuk NPK, pestisida dan ketersediaan air) dalam kondisi yang sempurna, sehingga mampu berproduksi lebih tinggi dari benih varietas lokal (tradisional). Menurut Goering (1993), pihak korporasi menciptakan ketergantungan petani untuk selalu membeli benih buatan pabrik setiap musim tanam. Beginilah model kapitalis dengan topeng agribisnis menciptakan ketergantungan pada petani hingga akhirnya mereka sangat leluasa mengeksploitasi pertanian dan petani kita menjadi “total konsumen”.
Sekarang ini, jumlah dan jenis sumberdaya benih, pupuk dan alat mesin pertanian selalu meningkat serta terkonsentrasi pada industri-industri pertanian yang menguasai pangsa pasar dunia; karena adanya upaya-upaya monopoli terselubung dengan berkedok hak paten dan persaingan dagang untuk terus mengembangkan benih-benih unggul. Industri pertanian raksasa berkelas dunia (misalnya Shell, ICI, Ciba, Geigy, ITT, Unilever, Bayer, Monsanto, dan Dupont) selalu berkompetisi menghasilkan benih-benih varietas unggul untuk dipasarkan kepada petani-petani miskin di negara-negara berkembang. Ini merupakan bentuk kapitalisme ekonomi dengan memanfaatkan kecanggihan (Salikin, 2003).
B. Relasi Kapitalisme dengan Konsep Agribisnis yang Diterapkan Di Indonesia
Sepanjang sejarahnya, kapitalisme ditunjang oleh ideologi pasar bebas, yaitu kebutuhan berkelanjutan dan tuntutan tiada henti akan ekspansi modal ke seluruh kawasan (tanpa mengenal batas-batas negara) demi mencari pasar-pasar baru (Khudori, 2004). Dalam sistem ini, semua orang, baik yang lemah maupun yang kuat harus berkompetisi secara bebas dan jelas bahwa pihak yang lemah akan kalah dengan pihak yang kuat. Begitu juga dengan sistem kapitalisme yang berlaku di Indonesia saat ini, petani akan kalah dengan perusahaan-perusahaan (pihak korporasi).
Sebagaimana dikatakan Marx (1976) dalam capital, “Domba memakan manusia”. Tanpa memiliki tanah, tak memiliki sarana untuk subsistensi kecuali tenaga, para pekerja terpaksa untuk menjual tenaga mereka kepada majikan demi upah. Hingga akhirnya tenaga kerja dari suatu kelas pekerja  yang tak memiliki tanah (kaum proletar) dapat dibeli oleh kelas majikan (kaum borjuis)  yang memiliki segalanya (Jones, 2009). Begitu juga dengan globalisasi yang menjadikan masyarakat dinegara-negara berkembang sebagai budak untuk menjalankan kepentingan ekonomi mereka. Masyarakat dinegara-negara berkembang dibuat menjadi tidak inofatif dan tergantung pada para pemilik modal. Pola ketergantungan inilah yang sengaja diciptakan untuk mematikan pertumbuhan pasar domestik dengan tujuan agar produk-produk yang mereka buat laku dipasaran (Lailatusysyukriysh, 2011).
Globalisasi yang mengemuka dewasa ini merupakan hasil dari sistem dan proses pembangunan dunia internasional yang bertumpu kepada strategi “satu memantapkan semua” yang dijalankan kaum kapitalis dalam masyarakat Internasional yang demikian heterogen. Strategi itu sendiri merupakan respons terhadap tantangan cultural dan intelektual masyarakat Internasional dewasa ini dan dalam bahasa mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, James Baker, disebut “sebuah tatanan dunia kapitalis” (Anonim 1, 2012).
Dengan adanya globalisasi semakin membuka ruang gerak untuk praktek-praktek kapitalisme. Hal ini dikarenakan tidak adanya batasan antar negara dalam hal pasar dan menjadikan negara dunia ketiga sebagai objek eksploitasi bagi negara-negara kapitalis. Bentuk standarisasi di bidang pertanian yang merupakan bagian dari globalisasi membuat pertanian Indonesia dianggap kurang berhasil. Hal ini dikarenakan adanya perbandingan (standarisasi) skala Internasional, dimana standarisasi ini sangat jauh untuk bisa dicapai oleh pertanian Indonesia karena indikator yang digunakan adalah indikator negara-negara maju. Indonesia kalah pada alat dan mesin-mesin pertanian yang unggul, produksi benih/bibit unggul dan modal. Dengan adanya standarisasi internasional tersebut menjadi lampu hijau bagi pihak kapitalis menyusup sebagai Tuhan
yang akan memenuhi standarisasi. Pihak korporasi berselingkuh dengan birokrasi, sehingga dengan mudahnya pihak korporasi masuk sebagai jawaban
atas standarisasi. Negara-negara maju adalah produsen sekaligus fasilitator
bagi pemenuhan standarisasi  tersebut.
Yang pada akhirnya penguasaan pertanian hanya dikuasai oleh pihak korporasi dan birokrasi. Perputaran
uang hanya pada dua pilar tersebut dan petani hanya mendapat percikan-percikan (Lailatusysyukriysh, 2011).
Adapun beberapa standarisasi dalam sistem Agribisnis yang dimainkan oleh pihak kapitalis ialah ISO (International Standars Organizations) sebagai parameter   internasional, seperti ISO 9000 untuk standar mutu pangan dan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) untuk jaminan mutu dan keamanan pangan. HACCP mempersyaratkan dokumen yang menjamin dan menunjukkan pengendalian mutu di setiap titik, tahap atau prosedur yang dianggap kritikal dimana tingkat bahaya dapat dicegah. Tingginya standar dalam ISO dan HACCP sudah tentu akan membuat eksportir dari negara berkembang dengan tingkat teknologi yang terbatas terseok-seok untuk bersaing. Inilah suatu konsep yang dibuat oleh pihak kapitalis sehingga negara-negara dunia ketiga sangat sulit untuk menembus pasar internasional (Yustika, 2005).
Dengan sistem HACCP, negara-negara maju berhak menolak setiap bahan pangan impor yang dianggap “tidak bermutu” dan “tidak sehat” secara sepihak. Diberlakukannya sistem tersebut menjelaskan bahwa negara-negara maju tersebut berusaha menghadang serbuan produk-produk makanan import, terutama dari negara-negara dunia ketiga (Khudori, 2004).
Setelah pihak kapitalis berhasil masuk dan untuk memperkuat keberadaannya, para korporasi dan birokrasi akhirnya pun membuat kebijakan-kebijakan, perjanjian-perjanjian dan bahkan sistem yang sangat tidak berpihak pada kaum buruh. Contohnya ialah perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights) yang disepakati oleh pihak Pemerintah. Perjanjian TRIPs adalah perjanjian Internasional yang merupakan bagian dari perjanjian WTO (World Transnational Organization) antara pihak korporasi dan birokrasi tentang hak kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan. Berdasarkan ketentuan yang ada, sejak Januari 2000, negara-negara berkembang anggota WTO berkewajiban melakukan harmonisasi undang-undang nasionalnya agar sejalan dengan kesepakatan TRIPs. Jelas hal ini akan semakin mempermudah akses sang korporasi dalam menguasai  dunia-dunia ketiga termasuk Indonesia yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat, khusunya petani (Khudori, 2004).
Persetujuan TRIPs, Terdiri dari 73 pasal yang terbagi atas 7 bab. Ada sejumlah hak kekayaan intelektual yang terkandung didalamnya, salah satunya ialah paten (pasal 27-35). Untuk sektor pertanian, pasal 27 dari TRIPs merupakan pasal yang paling dipermasalahkan. Pada pasal ini, TRIPs mengakui pematenan sumberdaya hayati tanpa mempersoalkan tempat penemuan paten tersebut dan darimana asalnya. Bayangkan, apakah pihak korporasi tidak tergiur melihat begitu melimpahnya sumberdaya hayati kita yang sebenarnya dapat dipatenkan. Akhirnya, TRIPs memunculkan implikasi serius, yang dalam konteks pertanian, terutama terhadap keragaman hayati (Khudori, 2004).
Menurut Khudori (2004), beberapa implikasi-implikasi TRIPs terhadap keragaman hayati adalah:
a.    Monopoli kepemilikan keragaman hayati,
b.    Membuka peluang pembajakan sumberdaya hayati, yaitu pengambilan dan pemanfaatan bahan hayati, terutama sumberdaya genetik tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat setempat,
c.    Mendorong erosi keragaman hayati.
Satu penulis, yang telah menganalisis konsekuensi dari perjanjian TRIPs di negara berkembang, mendapati bahwa ketahanan pangan dinegara-negara itu sedang dirusak dalam tiga cara oleh hak pemulia tanaman dan paten pada tanaman. Pertama, dengan mendorong budidaya rentang sempit berbagai hasil tanaman yang seragam secara genetik yang dapat memberikan dampak gizi. Kedua, dengan membatasi akses gratis ke benih baru. Ketiga, dengan membatasi sirkulasi bebas sumberdaya genetik tanaman, yang penting untuk pemuliaan dan pengembangan lebih lanjut (Eide, Asbjorn, Dan Banik, dkk, 2011)
Selain itu, umumnya tidak ada perbedaan pendapat dalam hal
biaya jangka pendek dan penetapan awal atau penguatan hukum pada perlindungan paten. Disisi lain, ada ketidaksepakatan tentang apakah perlindungan paten berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Hanya jika kelompok-kelompok korporasi mendapatkan manfaat, maka kebijakan untuk mengawali atau memperkuat perlindungan paten dapat
dibenarkan (Eide, Asbjorn, Dan Banik, dkk, 2011).
Mungkin masalah utama dalam menilai dampak perlindungan paten adalah bahwa konsekuensinya tidak segera terlihat. Sebaliknya, perlindungan paten, bersama dengan bentuk legislasi lain dan pembentukan lembaga
yang tepat, dapat menghasilkan suatu kerangka yang cukup meyakinkan
pada beberapa individu atau industri yang tergantung pada penelitian, baik nasional dan internasional untuk membangun fasilitas produksi di negara
terkait (
Eide, Asbjorn, Dan Banik, dkk, 2011).
Selain perjanjian TRIPs, perjanjian tentang pertanian yang disetujui pemerintah adalah, Agreement on Agriculture  (AoA) adalah perjanjian yang mengatur perdagangan pangan secara internasional dan dalam negeri. Aturan-aturan ini memacu lajunya konsentrasi pertanian ke agribisnis dan melemahkan kemampuan negara-negara miskin untuk mencukupi kebutuhan swadaya pangan dengaan cara bertani subsistem (bahan pokok penyambung hidup). Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani, perjanjian tentang pertanian (AoA) sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan petani Indonesia (Ojudista, 2009).
Dengan menanda tangani Perjanjian Pertanian (AoA), negara-negara dunia ketiga menyadari bahwa mereka telah setuju untuk membuka pasar-pasar mereka sementara memungkinkan para Adikuasa pertanian menguatkan sistem produksi pertanian bersubsidi mereka yang menyebabkan anjloknya harga pada pasar-pasar mereka. Pada gilirannya, proses tersebut, menghancurkan pertanian berbasis petani kecil (Ojudista, 2009).

C. Kelanggengan Kapitalisme Di Indonesia
Pada masa pemerintahan Soekarno, gerakan anti kolonialisme sangatlah kuat. Hal ini berujung pada sentimen kuat terhadap segala sesuatu yang menjadi simbol negara-negara barat, seperti musik dan film. Bahkan hutang luar negeri Indonesia, yang merupakan sisa peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda berdasarkan perjanjian KMB menjadi kewajiban pemerintah RI untuk melunasinya, dengan sengaja diabaikan oleh pemerintahan Soekarno. Melalui UU no. 86 Tahun 1958, pemerintahan ini melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan-perusahaan asing, terutama yang berpengaruh pada hajat hidup rakyat banyak. Namun seiring jatuhnya Orde Lama & digantikan oleh Orde Baru, jatuh pula semangat nasionalisasi tersebut dan digantikan dengan sistem liberalisasi yang berujung pada jebakan hutang yang tak mudah untuk dihapuskan. Liberalisasi perekonomian ini kemudian menarik korporasi-korporasi untuk melirik Indonesia sebagai lahan basah karena sumber daya alamnya yang melimpah sekaligus sumber daya manusianya yang murah (Anonim 2. 2011).
Korporasi mulai memasuki Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto melalui UU No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing (PMA). UU itu telah membatalkan UU No. 86 tahun 1958 mengenai nasionalisasi perusahaan asing, termasuk perusahaan tambang. "Korporatokrasi" merupakan bentuk perselingkuhan paling haram yang pernah terjadi, antara Korporasi dengan Birokrasi. Korporasi membutuhkan legalitas yang hanya bisa diberikan oleh pemerintah, sementara pemerintah membutuhkan peran serta korporasi untuk mewujudkan program–program pembangunan. Korporasi juga membutuhkan alat-alat negara penegak kedaulatan dan keamanan
sebagai pelindungnya agar terhindar dari gangguan pihak-pihak yang tidak setuju dengan kegiatannya dalam mengeruk keuntungan. Dengan uangnya yang
melimpah, korporasi memiliki peluang besar untuk mengontrol
pemerintah (Anonim 2. 2011).
Melalui UU No. 25 Tahun 2007 mengenai Penanaman Modal, pemerintah RI telah benar-benar membuka jalan bagi setiap investor, baik asing maupun pribumi, untuk berlomba-lomba menumbuhkan korporasi-korporasi yang terus menyedot habis energi rakyat. Penghilangan kata "asing" dalam UU tersebut ditujukan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap modal asing, termasuk menghilangkan seluruh batasan-batasan yang dianggap mempersulit masuknya modal asing (Anonim 2. 2011).
Tak hanya di bidang pertambangan, Indonesia juga lahan subur bagi bercokolnya korporasi-korporasi besar lainnya termasuk dalam bidang agribisnis seperti: McDonalds, Kentucky Fried Chicken (makanan cepat saji), AT&T. Kini Indonesia adalah gerai bagi korporasi-korporasi besar, dimana sumber daya alam yang melimpah adalah komoditas yang mahal di pasaran luar negeri, sementara sumber daya manusianya adalah tenaga kerja yang murah, dan sekaligus adalah pasar yang sangat konsumtif dan patuh (Anonim 2. 2011).

D. Solusi Gerakan Mahasiswa Yang Bisa Ditawarkan
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat kita jumpai banyaknya permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan. Melihat permasalahan ini yang sudah cukup kompleks yang menurut penulis butuh waktu yang cukup lama untuk menuntaskannya. Adapun pola gerakan yang saya tawarkan sebagai seorang mahasiswa adalah dengan gerakan “advokasi” dan gerakan “pengabdian pada masyarakat”. Sebagaimana kata orang bijak kejahatan yang terorganisasi akan mengalahkan kebaikan yang semrawut atau tidak diorganisasi. Karena itu, gerakan advokasi dan pengabdian pada masyarakat yang kita lakukan harus diorganisasikan.

Pada gerakan advokasi, sebagai mahasiswa kita menuntut pemerintah, agar Indonesia keluar dari organisasi-organisasi Internasional yang tidak menguntungkan Indonesia. Contohnya organisasi WTO yang menurut penulis sangat mengikat dan merugikan Indonesia. Ini terlihat jelas pada perjanjian-perjanjian yang ada di WTO, seperti perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights) dan perjanjian AoA (Agreement on Agriculture).
Menurut saya perubahan itu dimulai dari titik yang terkecil, dalam hal ini yang saya maksud ialah kita mulai dari suatu desa. Dimana kita mencoba membangun suatu desa, dan ketika desa ini berhasil, desa ini bisa menjadi perbandingan untuk desa-desa lain. Jadi kita berusaha membuat desa itu mandiri dengan segala sumberdaya yang mereka miliki,
Tahapan yang dilakukan untuk membangun desa ini dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu: pertama, tahapan penanaman paradigma, kedua, tahapan aplikasi praktis, dan yang ketiga, tahapan evaluasi.
1.    Tahap Penanaman paradigma
Untuk membangun suatu desa, kita awali dengan merubah paradigma pemikiran masyarakatnya. Paradigma pemikiran masyarakat desa pada umumnya menerima sesuatu dalam bentuk inderawi, artinya apa yang mereka lihat baik menurut inderawi mereka akan berterima, sehingga mereka sangat mudah dipengaruhi. Sebagai contoh: adanya doktrin bibit unggul, masyarakat desa dengan mudah berterima akan bibit tersebut, sehingga bibit yang mereka buat sendiri mereka tinggalkan dan beralih ke bibit unggul.
Pada tahap penanaman paradigma, bisa dilakukan dengan seminar-seminar antara mahasiswa dan petani. Disini kita melakukan pendekatan terhadap petani. Dengan seminar kepada petani, kita berusaha memperkenalkan tentang kekuatan desa itu, yaitu sumberdaya alam yang ada di desa itu. Kita berusaha menjelaskan bagaimana caranya supaya petani ini tidak tergantung lagi kepada pihak-pihak perusahaan. Kita jelaskan bahwa petani bisa membuat sendiri pupuk ataupun bibit tanpa harus menggunakan pupuk dan bibit dari perusahaan.

2.    Tahap Aplikasi Praktis
Pada tahap ini, kita melakukan pelatihan-pelatihan kepada petani, seperti pelatihan cara pembuatan pupuk dan bibit. Disini kita yang turun langsung mengajari, melakukan percontohan kepada petani. Setelah itu, barulah petani yang terapkan sendiri. Pada tahap aplikasi praktis, kita harus buat pendampingan, pengawalan terhadap petani hingga mereka bisa melakukan sendiri, karena harapannya ialah petani-petani tersebut bisa memanfaatkan segala sumberdaya yang ada di desa mereka dan akhirnya mereka tidak tergantung lagi pada perusahaan-perusahaan khususnya pada input pertanian.
3.    Tahap Evaluasi
Pada tahap evaluasi, yang harus kita lakukan adalah mengevaluasi segala hal yang telah kita lakukan mulai dari tahap penanaman paradigma  sampai tahap aplikasi praktis. Kita mengevaluasi sudah sejauh mana tingkat keberhasilan petani ini terhadap segala hal yang telah kita berikan. Bilamana pada tahap evaluasi ini, kita mendapati bahwa desa yang kita bina ini berhasil, ini bisa dijadikan acuan atau percontohan untuk diterapkan di desa-desa lain.


BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa praktek agribisnis merupakan suatu konsep dari pihak korporasi dan birokrasi dalam mengeksploitasi pertanian Indonesia mulai dari hulu sampai hilir. Dengan adanya standarisasi skala Internasional, mulai dari standirisasi hulu (pupuk, bibit unggul, alat mesin pertanian) hingga standarisasi hilir pada produk (ISO dan HACCP),  pihak kapitalis semakin leluasa menguasai pertanian. Semakin kuatnya pihak kapitalis, maka semakin memonopoli pasar hingga akhirnya membuat petani menjadi serba ketergantungan.
Dengan adanya perjanjian-perjanjian yang disetujui oleh pihak pemerintah, seperti perjanjian TRIPs dan AoA dalam WTO semakin memperjelas konsep Agribisnis dalam mengeksploitasi pertanian Indonesia yang sangat jelas dampaknya merugikan petani.
Pola gerakan yang bisa ditawarkan adalah gerakan advokasi dan gerakan pengabdian pada masyarakat. Pada gerakan advokasi, mahasiswa bias menuntut pemerintah, supaya Indonesia keluar dari organisasi-organisasi Internasional yang merugikan masyarakat khususnya petani,seperti organisasi WTO. Pada gerakan pengabdian pada masyarakat, mahasiswa bisa  membangun suatu desa sehingga petani bisa memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di desa yang pada akhirnya desa tersebut tidak lagi tergantung pada perusahaan-perusahaan khususnya pada input pertanian.
B. Saran
    Dari pembahasan di atas maka saran yang dapat diberikan yaitu perlunya ada pengkajian lanjutan tentang konsep dan praktek agribisnis di Indonesia. Hal ini disarankan agar kita lebih memahami konsep dan praktek agribisnis yang terjadi di negera kita Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1. 2012. Globalisasi. http://dkpmm.blogspot.com/2012/04/globalisasi.html. Diakses tanggal 21 Februari 2013. Makassar.
Anonim 2. 2011. Sekilas Sejarah Korporatokrasi di Indonesia http://hantammassa.blogspot.com/2011/05/sekilas-sejarah-korporatokrasi-di.html. Diakses tanggal 21 Februari 2013. Makassar.
Arifin, Bustanul. 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan Dan Pertanian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Diakses tanggal 21 Februari 2013. Makassar.
Daniri, 2008. Korporasi Pertanian Jangan Sampai Kebablasan. http://www.madani-ri.com/2008/07/11/korporasi-pertanian-jangan-sampai-kebablasan/.
Eide, Asbjorn, Dan Banik, dkk. 2011. Pangan dan Hak Asasi Manusia Dalam Pembangunan. Jakarta: Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS).
Ismpi Bpp. 2009. Kondisi Pertanian Indonesia Saat Ini Berdasarkan Pandangan Mahasiswa Pertanian Indonesia.  http://paskomnas.com/id/berita/Kondisi-Pertanian-Indonesia-saat-ini-Berdasarkan-Pandangan-Mahasiswa-Pertanian-Indonesia.php. Diakses tanggal 21 Februari 2013. Makassar.
Jones, PIP. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Yogyakarta: Resist Book.
Lailatusysukriyah, 2011. Kapitalisme Dalam Sejarah Agraria Di Indonesia. Yogyakarta: UGM
Ojudista. 2009. Kaum tani Dibawah Ancaman Kapitalisme. http://saksimelawan.blogspot.com/2009/11/kaum-tani-dibawah-ancaman-kapitalisme.html. Diakses tanggal 21 Februari 2013. Makassar.

Salikin, K.A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius.
Soekartawi. 2010. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yustika, A.E. 2005. Menjinakkan Liberalisme Revitalisasi Sektor Pertanian dan Kehutanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


0 comments:

Post a Comment