Makalah
Latihan Kepemimpinan Tingkat
Menengah
SEMA
FE-UH 2013
Tema Umum
: Ada Apa Dengan Panggung Korporatokrasi Dan Kesengsaraan
Gerak
Mahasiswa?
Subtema Makalah
: Praktek Agribisnis; Upaya Melanggengkan Kapitalisme
Judul : EKSPLOITASI PERTANIAN INDONESIA; KORPORASI DAN
BIROKRASI DALAM TOPENG AGRIBISNIS
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara kita tercinta Indonesia yang dikenal kaya akan sumber
daya alam namun sebagian besar masyarakatnya ada di bawah garis kemiskinan. Kelebihan lain selain sumber daya alam yang melimpah
negara kita dianugrahi dengan letak wilayah yang strategis dengan iklim tropis
yang memungkinkan radiasi matahari diterima sepanjang tahun, suhu di Indonesia
yang sangat optimal sangat baik bagi pertumbuhan tanaman. Hampir segala jenis
tanaman yang ada di wilayah dunia lain dapat tumbuh di tanah Indonesia ini.
Bahkan ada pepetah yang bilang bahwa tongkat yang ditanam di atas bumi Indonesia
pun akan dapat menjadi pohon karena kesuburan tanahnya.
Dengan segala potensi sumberdaya
alam yang sangat besar dan letak geografis serta iklim tropisnya itu seharusnya
pada saat ini Indonesia menjadi negara yang maju dalam bidang pertanian pada
khususnya. Namun
faktanya kondisi pertanian kita masih rapuh, dan sangat labil dalam persaingan di
tingkat global. Kenapa hal
tersebut terjadi? Untuk memahami masalah-masalah ini, kita perlu mengenali apa
yang disebut kapitalisme. Apa artinya kapitalisme ? kapitalisme adalah system
pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh
(termasuk buruh tani dan buruh perkebunan) dari alat-alat produksi. Dengan cara
produksi semacam inilah, maka keuntungan (nilai lebih) tidak jatuh ke tangan
buruh, melainkan jatuh ke tangan majikan (pemilik modal/kapital).
Globalisasi saat ini semakin membuka ruang untuk praktek-praktek
kapitalisme. Hal ini dikarenakan tidak adanya batasan antar negara dalam hal
pasar dan menjadikan negara dunia ketiga sebagai objek eksploitasi bagi
negara-negara kapitalis. Bentuk standarisasi di bidang pertanian yang merupakan
bagian dari globalisasi membuat pertanian Indonesia dianggap kurang berhasil.
Hal ini dikarenakan adanya perbandingan (standarisasi) skala Internasional,
dimana standarisasi ini sangat jauh untuk bisa dicapai oleh pertanian Indonesia
karena indikator yang digunakan adalah indikator negara-negara maju. Indonesia
kalah pada alat dan mesin-mesin pertanian yang unggul, produksi benih/bibit
unggul dan modal. Dengan adanya standarisasi Internasional tersebut menjadi
lampu hijau bagi pihak kapitalis menyusup sebagai Tuhan yang akan memenuhi
standarisasi. Yang pada akhirnya penguasaan pertanian hanya dikuasai oleh pihak
korporasi dan birokrasi. Perputaran uang hanya pada dua pilar tersebut dan
petani hanya mendapat percikan-percikan.
Semakin kuatnya pihak kapitalis, maka semakin
memonopoli pasar. Berbagai macam sarana produksi mulai dari benih, alat mesin
pertanian pestisida, modal, dan kriteria pasar dimonopoli oleh korporasi dan
birokrasi melalui aturan-aturan. Ini
merupakan skenario pemusnahan sumberdaya lokal. Negara-negara dunia ketiga
harus tunduk pada mekanisme kapitalis, jika ingin menembus pasar Internasional.
Sangat sadis, karena segalanya menjadi ketergantungan atas input luar, inilah
yang disebut dengan “Total Konsumen”. Sekalipun ada penyerahan proses produksi,
namun tidak lantas mendudukkan petani di negara dunia ketiga menjadi produsen,
karena sifatnya hanya melakukan perintah, yang posisi tawarnya serba lemah
dalam segala hal. Makalah ini akan membahas tentang posisi korporasi dan
birokrasi dalam penguaasaannya di bidang pertanian dengan konsep agribisnis.
B. Rumusan
Masalah
Pembahasan tentang peran pihak korporasi dan
birokrasi dalam konteks agribisnis dianggap penulis sangat luas, oleh sebab itu
penulis hanya akan membahas bebrapa point
berikut:
- Bagaimana konsep agribisnis dan penerapannya?
- Bagaimana relasi kapitalisme dengan konsep agribisnis yang diterapkan di Indonesia?
- Apa solusi gerakan mahasiswa yang bisa ditawarkan?
C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini
adalah:
Ø Sebagai pra syarat untuk mengikuti screening Latihan Kepemimpinan Tingkat
Mahasiswa Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Ø Menambah wacana terkait problematika pertanian di
Indonesia.
BAB II. PEMBAHASAN
A. Konsep Agribisnis Dan Penerapannya
Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam
struktur pembangunan perekonomian nasional. Sektor ini merupakan sektor yang
tidak mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dalam pembangunan
bangsa. Mulai dari proteksi, kredit hingga kebijakan lain tidak satu pun yang
menguntungkan bagi sektor ini. Program-program pembangunan pertanian yang tidak
terarah tujuannya bahkan semakin menjerumuskan sektor ini pada kehancuran.
Meski demikian sektor ini merupakan sektor yang sangat banyak menampung luapan
tenaga kerja dan sebagian besar penduduk kita tergantung padanya (Ismpi Bpp, 2009).
Perjalanan pembangunan pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum
dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan
petani dan kontribusinya pada pendapatan nasional. Pembangunan pertanian di
Indonesia dianggap penting dari keseluruhan pembangunan nasional. Ada beberapa
hal yang mendasari mengapa pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan
penting, antara lain: potensi sumber daya alam yang besar dan beragam, pangsa
terhadap pendapatan nasional yang cukup besar, besarnya pangsa terhadap ekspor
nasional, besarnya penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya
pada sektor ini, perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Selain itu, menurut Classical economists seperti Adam Smith, John Stuart Mill dan David Ricardo mengisyaratkan pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada sumberdaya alam (Yustika, 2005). Potensi pertanian Indonesia yang besar namun pada kenyataannya sampai saat ini sebagian besar dari petani kita masih banyak yang termasuk golongan miskin. Sebagaimana dikatakan presiden Susilao Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyampaikan sambutan pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan di Istana negara awal Desember 2005 menyebutkan bahwa 55% dari jumlah penduduk miskin adalah petani (Arifin, 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah kurang memberdayakan petani tetapi juga terhadap sektor pertanian keseluruhan (Ismpi Bpp, 2009).
pada sektor ini, perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Selain itu, menurut Classical economists seperti Adam Smith, John Stuart Mill dan David Ricardo mengisyaratkan pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada sumberdaya alam (Yustika, 2005). Potensi pertanian Indonesia yang besar namun pada kenyataannya sampai saat ini sebagian besar dari petani kita masih banyak yang termasuk golongan miskin. Sebagaimana dikatakan presiden Susilao Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyampaikan sambutan pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan di Istana negara awal Desember 2005 menyebutkan bahwa 55% dari jumlah penduduk miskin adalah petani (Arifin, 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah kurang memberdayakan petani tetapi juga terhadap sektor pertanian keseluruhan (Ismpi Bpp, 2009).
Untuk mengembangkan pertanian, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah
adalah dengan konsep Agribisnis. Menurut Prof. Dr. Soekartawi dalam bukunya
“Agribisnis: Teori dan Aplikasinya” (2010) menjelaskan bahawa pada umumnya
banyak orang yang belum paham tentang konsep agribisnis. Agribisnis diartikan
sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Padahal, konsep
agribisnis yang sebenarnya adalah suatu konsep yang utuh, mulai dari proses
produksi, pengolahan hasil, pemasaran, dan aktivitas lain yang berkaitan dengan
pertanian. Menurut Arsyad dkk (1985), yang dimaksud dengan agribisnis adalah:
“suatu
kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata
rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan
pertanian dalam arti luas. Dalam arti luas maksudnya adalah kegiatan usaha yang
menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan
pertanian.”
Dengan konsep agribisnis ini lah pihak
korporasi mengeksploitasi seluruh kegiatan pertanian mulai dari hulu sampai
hilir. Alasan ingin meningkatkan
perekonomian khususnya pertanian Indonesia yang pada faktanya ialah menggerogoti
pertanian kita. Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih
(2008), sampai sekarang belum ada satu pun kasus dengan masuknya korporasi,
petani menjadi sejahtera. Ia mencontohkan masuknya perusahaan agribisnis dalam
perkebunan sawit. Petani kecil dan masyarakat adat terpinggirkan karena
tanahnya diambil alih oleh perusahaan. Konflik tanah banyak terjadi di
perkebunan sawit. Sementara itu, rakyat kesulitan membeli minyak goreng karena
harganya meningkat. Perusahaan semakin senang
dengan peningkatan harga karena pendapatan meningkat, sedangkan rakyat yang kelaparan. Inilah model permainan yang dilakukan oleh para
korporasi (Daniri, 2008).
dengan peningkatan harga karena pendapatan meningkat, sedangkan rakyat yang kelaparan. Inilah model permainan yang dilakukan oleh para
korporasi (Daniri, 2008).
Dalam sejarah pertanian ini merupakan salah
satu akibat dari pola inti plasma (nucleus-smallholder)
sebagai salah satu bentuk agrobisnis melalui contract farming. Menurut Henry (2008), dengan masuknya korporasi,
peningkatan produksi memang terjadi, tetapi jutaan kaum tani dirugikan. Jadi,
surplus ekonomi pertanian dan pangan yang dulunya meskipun kecil dapat
dinikmati oleh petani, kini setelah masuknya perusahaan ke sektor pertanian
menjadi milik perusahaan. Selain itu, dampak berkuasanya pihak korporasi pada
petani ialah semakin sedikit petani kita
yang memiliki kemampuan memproduksi pupuk, benih, dan juga ramuan tradisional
pengendali hama. Dan jika kemudian perusahaan tidak saja masuk input produksi,
bahkan melakukan sendiri kegiatan produksi pertanian (on farm), makin habislah ekonomi yang bisa dinikmati
rakyat (Daniri, 2008).
rakyat (Daniri, 2008).
Menurut Salikin (2003), salah satu “dosa”
besar pembangunan pertanian industrial adalah standarisasi yang merupakan
penyeragaman yang menyesatkan. Standarisasi memang dipuji sebagai faktor
krusial untuk meraih produktivitas dan efisiensi ekonomi. Standarisasi
dilakukan oleh para pengusaha agribisnis untuk mendapatkan produk pertanian
yang seragam sesuai dengan selera dan tuntutan pasar. Para pengusaha pertanian
di dunia ini boleh dikatakan memiliki pola pikir yang seragam, yaitu bagaimana
menggunakan bibit unggul yang sama, dosis pupuk dan obat-obatan yang sama,
serta mesin-mesin yang sama. Tanaman dan hewan pun diatur supaya tumbuh dan
berkembang secara seragam sehingga memudahkan pemanenan, pengemasan dan
pengangkutan sampai ke outlet
supermarket-supermarket di kota-kota besar. Akibatnya, para petani menjadi sangat
ketergantungan akan input pertanian.
Pada penggunaan bibit unggul untuk mencapai
standarisasi, pihak korporasi memberikan benih hibrida dengan varietas yang
selalu diperbarui. Varietas ini hanya responsif bila pemakaian input (misalnya
pupuk NPK, pestisida dan ketersediaan air) dalam kondisi yang sempurna,
sehingga mampu berproduksi lebih tinggi dari benih varietas lokal
(tradisional). Menurut Goering (1993), pihak korporasi menciptakan
ketergantungan petani untuk selalu membeli benih buatan pabrik setiap musim
tanam. Beginilah model kapitalis dengan topeng agribisnis menciptakan
ketergantungan pada petani hingga akhirnya mereka sangat leluasa
mengeksploitasi pertanian dan petani kita menjadi “total konsumen”.
Sekarang
ini, jumlah dan jenis sumberdaya benih, pupuk dan alat mesin pertanian selalu
meningkat serta terkonsentrasi pada industri-industri pertanian yang menguasai
pangsa pasar dunia; karena adanya upaya-upaya monopoli terselubung dengan
berkedok hak paten dan persaingan dagang untuk terus mengembangkan benih-benih
unggul. Industri pertanian raksasa berkelas dunia (misalnya Shell, ICI, Ciba,
Geigy, ITT, Unilever, Bayer, Monsanto, dan Dupont) selalu berkompetisi
menghasilkan benih-benih varietas unggul untuk dipasarkan kepada petani-petani
miskin di negara-negara berkembang. Ini merupakan bentuk kapitalisme ekonomi
dengan memanfaatkan kecanggihan (Salikin, 2003).
B. Relasi Kapitalisme dengan Konsep Agribisnis yang Diterapkan
Di Indonesia
Sepanjang sejarahnya, kapitalisme ditunjang oleh ideologi pasar bebas,
yaitu kebutuhan berkelanjutan dan tuntutan tiada henti akan ekspansi modal ke
seluruh kawasan (tanpa mengenal batas-batas negara) demi mencari pasar-pasar
baru (Khudori, 2004). Dalam sistem ini, semua orang, baik yang lemah maupun
yang kuat harus berkompetisi secara bebas dan jelas bahwa pihak yang lemah akan
kalah dengan pihak yang kuat. Begitu juga dengan sistem kapitalisme yang
berlaku di Indonesia saat ini, petani akan kalah dengan perusahaan-perusahaan
(pihak korporasi).
Sebagaimana dikatakan Marx (1976) dalam capital, “Domba memakan manusia”. Tanpa
memiliki tanah, tak memiliki sarana untuk subsistensi kecuali tenaga, para
pekerja terpaksa untuk menjual tenaga mereka kepada majikan demi upah. Hingga
akhirnya tenaga kerja dari suatu kelas pekerja
yang tak memiliki tanah (kaum proletar) dapat dibeli oleh kelas majikan
(kaum borjuis) yang memiliki segalanya
(Jones, 2009). Begitu juga dengan globalisasi
yang menjadikan masyarakat dinegara-negara berkembang sebagai budak untuk
menjalankan kepentingan ekonomi mereka. Masyarakat dinegara-negara berkembang
dibuat menjadi tidak inofatif dan tergantung pada para pemilik modal. Pola
ketergantungan inilah yang sengaja diciptakan untuk mematikan pertumbuhan pasar
domestik dengan tujuan agar produk-produk yang mereka buat laku dipasaran
(Lailatusysyukriysh, 2011).
Globalisasi yang mengemuka dewasa ini merupakan hasil dari sistem dan
proses pembangunan dunia internasional yang bertumpu kepada strategi “satu
memantapkan semua” yang dijalankan kaum kapitalis dalam masyarakat Internasional
yang demikian heterogen. Strategi itu sendiri merupakan respons terhadap
tantangan cultural dan intelektual
masyarakat Internasional dewasa ini dan dalam bahasa mantan Menteri Luar Negeri
Amerika Serikat, James Baker, disebut “sebuah tatanan dunia kapitalis” (Anonim 1, 2012).
Dengan adanya globalisasi semakin membuka ruang gerak untuk praktek-praktek
kapitalisme. Hal ini dikarenakan tidak adanya batasan antar negara dalam hal
pasar dan menjadikan negara dunia ketiga sebagai objek eksploitasi bagi
negara-negara kapitalis. Bentuk standarisasi di bidang pertanian yang merupakan
bagian dari globalisasi membuat pertanian Indonesia dianggap kurang berhasil.
Hal ini dikarenakan adanya perbandingan (standarisasi) skala Internasional, dimana
standarisasi ini sangat jauh untuk bisa dicapai oleh pertanian Indonesia karena
indikator yang digunakan adalah indikator negara-negara maju. Indonesia kalah
pada alat dan mesin-mesin pertanian yang unggul, produksi benih/bibit unggul
dan modal. Dengan adanya standarisasi internasional tersebut menjadi lampu
hijau bagi pihak kapitalis menyusup sebagai Tuhan
yang akan memenuhi standarisasi. Pihak korporasi berselingkuh dengan birokrasi, sehingga dengan mudahnya pihak korporasi masuk sebagai jawaban
atas standarisasi. Negara-negara maju adalah produsen sekaligus fasilitator
bagi pemenuhan standarisasi tersebut. Yang pada akhirnya penguasaan pertanian hanya dikuasai oleh pihak korporasi dan birokrasi. Perputaran
uang hanya pada dua pilar tersebut dan petani hanya mendapat percikan-percikan (Lailatusysyukriysh, 2011).
yang akan memenuhi standarisasi. Pihak korporasi berselingkuh dengan birokrasi, sehingga dengan mudahnya pihak korporasi masuk sebagai jawaban
atas standarisasi. Negara-negara maju adalah produsen sekaligus fasilitator
bagi pemenuhan standarisasi tersebut. Yang pada akhirnya penguasaan pertanian hanya dikuasai oleh pihak korporasi dan birokrasi. Perputaran
uang hanya pada dua pilar tersebut dan petani hanya mendapat percikan-percikan (Lailatusysyukriysh, 2011).
Adapun beberapa standarisasi dalam sistem Agribisnis yang dimainkan oleh
pihak kapitalis ialah ISO (International
Standars Organizations) sebagai parameter internasional,
seperti ISO 9000 untuk standar mutu pangan dan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) untuk jaminan mutu
dan keamanan pangan. HACCP mempersyaratkan dokumen yang menjamin dan
menunjukkan pengendalian mutu di setiap titik, tahap atau prosedur yang
dianggap kritikal dimana tingkat bahaya dapat dicegah. Tingginya standar dalam
ISO dan HACCP sudah tentu akan membuat eksportir dari negara berkembang dengan
tingkat teknologi yang terbatas terseok-seok untuk bersaing. Inilah suatu
konsep yang dibuat oleh pihak kapitalis sehingga negara-negara dunia ketiga
sangat sulit untuk menembus pasar internasional (Yustika, 2005).
Dengan sistem HACCP, negara-negara maju berhak menolak setiap bahan pangan
impor yang dianggap “tidak bermutu” dan “tidak sehat” secara sepihak. Diberlakukannya
sistem tersebut menjelaskan bahwa negara-negara maju tersebut berusaha
menghadang serbuan produk-produk makanan import, terutama dari negara-negara
dunia ketiga (Khudori, 2004).
Setelah pihak kapitalis berhasil masuk dan untuk memperkuat keberadaannya,
para korporasi dan birokrasi akhirnya pun membuat kebijakan-kebijakan,
perjanjian-perjanjian dan bahkan sistem yang sangat tidak berpihak pada kaum
buruh. Contohnya ialah perjanjian TRIPs (Trade
Related Aspect on Intellectual Property Rights) yang disepakati oleh pihak
Pemerintah. Perjanjian TRIPs adalah perjanjian Internasional yang merupakan
bagian dari perjanjian WTO (World
Transnational Organization) antara pihak korporasi dan birokrasi tentang
hak kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan. Berdasarkan
ketentuan yang ada, sejak Januari 2000, negara-negara berkembang anggota WTO
berkewajiban melakukan harmonisasi undang-undang nasionalnya agar sejalan
dengan kesepakatan TRIPs. Jelas hal ini akan semakin mempermudah akses sang
korporasi dalam menguasai dunia-dunia
ketiga termasuk Indonesia yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat,
khusunya petani (Khudori, 2004).
Persetujuan TRIPs, Terdiri dari 73 pasal yang terbagi atas 7 bab. Ada
sejumlah hak kekayaan intelektual yang terkandung didalamnya, salah satunya
ialah paten (pasal 27-35). Untuk sektor pertanian, pasal 27 dari TRIPs
merupakan pasal yang paling dipermasalahkan. Pada pasal ini, TRIPs mengakui
pematenan sumberdaya hayati tanpa mempersoalkan tempat penemuan paten tersebut
dan darimana asalnya. Bayangkan, apakah pihak korporasi tidak tergiur melihat
begitu melimpahnya sumberdaya hayati kita yang sebenarnya dapat dipatenkan.
Akhirnya, TRIPs memunculkan implikasi serius, yang dalam konteks pertanian,
terutama terhadap keragaman hayati (Khudori, 2004).
Menurut Khudori (2004), beberapa implikasi-implikasi TRIPs terhadap
keragaman hayati adalah:
a. Monopoli kepemilikan keragaman hayati,
b. Membuka peluang pembajakan sumberdaya hayati, yaitu
pengambilan dan pemanfaatan bahan hayati, terutama sumberdaya genetik tanpa
sepengetahuan dan persetujuan masyarakat setempat,
c. Mendorong erosi keragaman hayati.
Satu penulis, yang telah menganalisis konsekuensi dari perjanjian TRIPs di negara
berkembang, mendapati bahwa ketahanan pangan dinegara-negara itu sedang dirusak
dalam tiga cara oleh hak pemulia tanaman dan paten pada tanaman. Pertama,
dengan mendorong budidaya rentang sempit berbagai hasil tanaman yang seragam
secara genetik yang dapat memberikan dampak gizi. Kedua, dengan membatasi akses
gratis ke benih baru. Ketiga, dengan membatasi sirkulasi bebas sumberdaya genetik
tanaman, yang penting untuk pemuliaan dan pengembangan lebih lanjut (Eide, Asbjorn, Dan Banik, dkk,
2011)
Selain itu, umumnya tidak ada perbedaan pendapat dalam
hal
biaya jangka pendek dan penetapan awal atau penguatan hukum pada perlindungan paten. Disisi lain, ada ketidaksepakatan tentang apakah perlindungan paten berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Hanya jika kelompok-kelompok korporasi mendapatkan manfaat, maka kebijakan untuk mengawali atau memperkuat perlindungan paten dapat
dibenarkan (Eide, Asbjorn, Dan Banik, dkk, 2011).
biaya jangka pendek dan penetapan awal atau penguatan hukum pada perlindungan paten. Disisi lain, ada ketidaksepakatan tentang apakah perlindungan paten berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Hanya jika kelompok-kelompok korporasi mendapatkan manfaat, maka kebijakan untuk mengawali atau memperkuat perlindungan paten dapat
dibenarkan (Eide, Asbjorn, Dan Banik, dkk, 2011).
Mungkin masalah utama dalam menilai dampak perlindungan paten adalah bahwa
konsekuensinya tidak segera terlihat. Sebaliknya, perlindungan paten, bersama
dengan bentuk legislasi lain dan pembentukan lembaga
yang tepat, dapat menghasilkan suatu kerangka yang cukup meyakinkan
pada beberapa individu atau industri yang tergantung pada penelitian, baik nasional dan internasional untuk membangun fasilitas produksi di negara
terkait (Eide, Asbjorn, Dan Banik, dkk, 2011).
yang tepat, dapat menghasilkan suatu kerangka yang cukup meyakinkan
pada beberapa individu atau industri yang tergantung pada penelitian, baik nasional dan internasional untuk membangun fasilitas produksi di negara
terkait (Eide, Asbjorn, Dan Banik, dkk, 2011).
Selain perjanjian TRIPs, perjanjian tentang pertanian yang disetujui
pemerintah adalah, Agreement on Agriculture
(AoA) adalah perjanjian yang mengatur perdagangan pangan secara
internasional dan dalam negeri. Aturan-aturan ini memacu lajunya konsentrasi
pertanian ke agribisnis dan melemahkan kemampuan negara-negara miskin untuk
mencukupi kebutuhan swadaya pangan dengaan cara bertani subsistem (bahan pokok
penyambung hidup). Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani,
perjanjian tentang pertanian (AoA) sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan
petani Indonesia (Ojudista, 2009).
Dengan menanda tangani Perjanjian Pertanian (AoA), negara-negara
dunia ketiga menyadari bahwa mereka telah setuju untuk membuka pasar-pasar
mereka sementara memungkinkan para Adikuasa pertanian menguatkan sistem
produksi pertanian bersubsidi mereka yang menyebabkan anjloknya harga pada
pasar-pasar mereka. Pada gilirannya, proses tersebut, menghancurkan pertanian
berbasis petani kecil (Ojudista, 2009).
C. Kelanggengan Kapitalisme Di Indonesia
Pada masa pemerintahan Soekarno, gerakan anti kolonialisme sangatlah kuat.
Hal ini berujung pada sentimen kuat terhadap segala sesuatu yang menjadi simbol
negara-negara barat, seperti musik dan film. Bahkan hutang luar negeri
Indonesia, yang merupakan sisa peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda
berdasarkan perjanjian KMB menjadi kewajiban pemerintah RI untuk melunasinya,
dengan sengaja diabaikan oleh pemerintahan Soekarno. Melalui UU no. 86 Tahun
1958, pemerintahan ini melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan-perusahaan
asing, terutama yang berpengaruh pada hajat hidup rakyat banyak. Namun seiring
jatuhnya Orde Lama & digantikan oleh Orde Baru, jatuh pula semangat
nasionalisasi tersebut dan digantikan dengan sistem liberalisasi yang berujung
pada jebakan hutang yang tak mudah untuk dihapuskan. Liberalisasi perekonomian
ini kemudian menarik korporasi-korporasi untuk melirik Indonesia sebagai lahan
basah karena sumber daya alamnya yang melimpah sekaligus sumber daya manusianya
yang murah (Anonim 2. 2011).
Korporasi mulai memasuki Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto
melalui UU No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing (PMA). UU itu telah
membatalkan UU No. 86 tahun 1958 mengenai nasionalisasi perusahaan asing,
termasuk perusahaan tambang. "Korporatokrasi" merupakan bentuk
perselingkuhan paling haram yang pernah terjadi, antara Korporasi dengan
Birokrasi. Korporasi membutuhkan legalitas yang hanya bisa diberikan oleh
pemerintah, sementara pemerintah membutuhkan peran serta korporasi untuk
mewujudkan program–program pembangunan. Korporasi juga membutuhkan alat-alat
negara penegak kedaulatan dan keamanan
sebagai pelindungnya agar terhindar dari gangguan pihak-pihak yang tidak setuju dengan kegiatannya dalam mengeruk keuntungan. Dengan uangnya yang
melimpah, korporasi memiliki peluang besar untuk mengontrol
pemerintah (Anonim 2. 2011).
sebagai pelindungnya agar terhindar dari gangguan pihak-pihak yang tidak setuju dengan kegiatannya dalam mengeruk keuntungan. Dengan uangnya yang
melimpah, korporasi memiliki peluang besar untuk mengontrol
pemerintah (Anonim 2. 2011).
Melalui UU No. 25 Tahun 2007 mengenai Penanaman Modal, pemerintah RI telah
benar-benar membuka jalan bagi setiap investor, baik asing maupun pribumi,
untuk berlomba-lomba menumbuhkan korporasi-korporasi yang terus menyedot habis
energi rakyat. Penghilangan kata "asing" dalam UU tersebut ditujukan
untuk menghilangkan diskriminasi terhadap modal asing, termasuk menghilangkan
seluruh batasan-batasan yang dianggap mempersulit masuknya modal asing (Anonim 2. 2011).
Tak hanya di bidang pertambangan, Indonesia juga lahan subur bagi
bercokolnya korporasi-korporasi besar lainnya termasuk dalam bidang agribisnis seperti:
McDonalds, Kentucky Fried Chicken (makanan cepat saji), AT&T. Kini
Indonesia adalah gerai bagi korporasi-korporasi besar, dimana sumber daya alam
yang melimpah adalah komoditas yang mahal di pasaran luar negeri, sementara
sumber daya manusianya adalah tenaga kerja yang murah, dan sekaligus adalah
pasar yang sangat konsumtif dan patuh (Anonim
2. 2011).
D. Solusi Gerakan Mahasiswa Yang
Bisa Ditawarkan
Berdasarkan uraian sebelumnya
dapat kita jumpai banyaknya permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan. Melihat
permasalahan ini yang sudah cukup kompleks yang menurut penulis butuh waktu
yang cukup lama untuk menuntaskannya. Adapun pola gerakan yang saya tawarkan sebagai seorang mahasiswa adalah
dengan gerakan “advokasi” dan gerakan “pengabdian pada masyarakat”. Sebagaimana kata orang
bijak kejahatan yang terorganisasi akan mengalahkan kebaikan yang semrawut atau
tidak diorganisasi. Karena itu, gerakan
advokasi
dan pengabdian pada masyarakat yang
kita lakukan harus diorganisasikan.
Pada gerakan advokasi, sebagai mahasiswa kita
menuntut pemerintah, agar Indonesia keluar dari organisasi-organisasi
Internasional yang tidak menguntungkan Indonesia. Contohnya organisasi WTO yang
menurut penulis sangat mengikat dan merugikan Indonesia. Ini terlihat jelas
pada perjanjian-perjanjian yang ada di WTO, seperti perjanjian TRIPs (Trade
Related Aspect on Intellectual Property Rights) dan perjanjian AoA (Agreement on
Agriculture).
Menurut saya perubahan itu dimulai dari titik
yang terkecil, dalam hal ini yang saya maksud ialah kita mulai dari suatu desa.
Dimana kita mencoba membangun suatu desa, dan ketika desa ini berhasil, desa
ini bisa menjadi perbandingan untuk desa-desa lain. Jadi kita berusaha membuat
desa itu mandiri dengan segala sumberdaya yang mereka miliki,
Tahapan yang dilakukan untuk membangun desa ini
dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu: pertama, tahapan penanaman paradigma, kedua,
tahapan aplikasi praktis, dan yang ketiga, tahapan evaluasi.
1.
Tahap Penanaman paradigma
Untuk membangun suatu desa, kita awali dengan merubah paradigma pemikiran
masyarakatnya. Paradigma pemikiran masyarakat desa pada umumnya menerima sesuatu dalam bentuk inderawi, artinya apa yang mereka
lihat baik menurut inderawi mereka akan berterima, sehingga mereka sangat mudah
dipengaruhi. Sebagai contoh: adanya doktrin bibit unggul, masyarakat desa dengan mudah berterima akan bibit tersebut, sehingga
bibit yang mereka buat sendiri mereka tinggalkan dan beralih ke bibit unggul.
Pada tahap
penanaman paradigma, bisa dilakukan dengan seminar-seminar antara mahasiswa dan
petani. Disini kita melakukan pendekatan terhadap petani. Dengan seminar kepada
petani, kita berusaha memperkenalkan tentang kekuatan desa itu, yaitu
sumberdaya alam yang ada di desa itu. Kita berusaha menjelaskan bagaimana
caranya supaya petani ini tidak tergantung lagi kepada pihak-pihak perusahaan.
Kita jelaskan bahwa petani bisa membuat sendiri pupuk ataupun bibit tanpa harus
menggunakan pupuk dan bibit dari perusahaan.
2.
Tahap Aplikasi Praktis
Pada tahap ini, kita melakukan
pelatihan-pelatihan kepada petani, seperti pelatihan cara pembuatan pupuk dan
bibit. Disini kita yang turun langsung mengajari, melakukan percontohan kepada
petani. Setelah itu, barulah petani yang terapkan sendiri. Pada tahap aplikasi
praktis, kita harus buat pendampingan, pengawalan terhadap petani hingga mereka
bisa melakukan sendiri, karena harapannya ialah petani-petani tersebut bisa
memanfaatkan segala sumberdaya yang ada di desa mereka dan akhirnya mereka
tidak tergantung lagi pada perusahaan-perusahaan khususnya pada input
pertanian.
3.
Tahap Evaluasi
Pada
tahap evaluasi, yang harus kita lakukan adalah mengevaluasi segala hal yang
telah kita lakukan mulai dari tahap penanaman paradigma sampai tahap aplikasi praktis. Kita
mengevaluasi sudah sejauh mana tingkat keberhasilan petani ini terhadap segala
hal yang telah kita berikan. Bilamana pada tahap evaluasi ini, kita mendapati
bahwa desa yang kita bina ini berhasil, ini bisa dijadikan acuan atau
percontohan untuk diterapkan di desa-desa lain.
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa praktek agribisnis merupakan
suatu konsep dari pihak korporasi dan birokrasi dalam mengeksploitasi pertanian
Indonesia mulai dari hulu sampai hilir. Dengan adanya standarisasi skala
Internasional, mulai dari standirisasi hulu (pupuk, bibit unggul, alat mesin
pertanian) hingga standarisasi hilir pada produk (ISO dan HACCP), pihak kapitalis semakin leluasa menguasai
pertanian. Semakin kuatnya pihak kapitalis, maka semakin memonopoli pasar
hingga akhirnya membuat petani menjadi serba ketergantungan.
Dengan adanya perjanjian-perjanjian yang disetujui oleh pihak pemerintah,
seperti perjanjian TRIPs dan AoA dalam WTO semakin memperjelas konsep
Agribisnis dalam mengeksploitasi pertanian Indonesia yang sangat jelas
dampaknya merugikan petani.
Pola gerakan yang bisa ditawarkan adalah gerakan advokasi dan gerakan
pengabdian pada masyarakat. Pada gerakan advokasi, mahasiswa bias menuntut
pemerintah, supaya Indonesia keluar dari organisasi-organisasi Internasional
yang merugikan masyarakat khususnya petani,seperti organisasi WTO. Pada gerakan
pengabdian pada masyarakat, mahasiswa bisa
membangun suatu desa sehingga petani bisa memanfaatkan sumberdaya alam
yang ada di desa yang pada akhirnya desa tersebut tidak lagi tergantung pada
perusahaan-perusahaan khususnya pada input pertanian.
B. Saran
Dari
pembahasan di atas maka saran yang dapat diberikan yaitu perlunya ada pengkajian
lanjutan tentang konsep dan praktek agribisnis di Indonesia. Hal ini disarankan agar kita
lebih memahami konsep dan
praktek agribisnis yang terjadi di negera
kita Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim 1. 2012. Globalisasi. http://dkpmm.blogspot.com/2012/04/globalisasi.html. Diakses tanggal 21 Februari
2013. Makassar.
Anonim 2.
2011. Sekilas Sejarah Korporatokrasi di Indonesia http://hantammassa.blogspot.com/2011/05/sekilas-sejarah-korporatokrasi-di.html. Diakses tanggal 21 Februari 2013.
Makassar.
Arifin,
Bustanul. 2007. Diagnosis Ekonomi
Politik Pangan Dan Pertanian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Diakses
tanggal 21 Februari 2013. Makassar.
Daniri, 2008.
Korporasi Pertanian Jangan Sampai
Kebablasan. http://www.madani-ri.com/2008/07/11/korporasi-pertanian-jangan-sampai-kebablasan/.
Eide, Asbjorn,
Dan Banik, dkk. 2011. Pangan dan Hak
Asasi Manusia Dalam Pembangunan. Jakarta: Indonesian Human Rights Committee
for Social Justice (IHCS).
Ismpi Bpp. 2009.
Kondisi Pertanian Indonesia Saat Ini
Berdasarkan Pandangan Mahasiswa Pertanian Indonesia. http://paskomnas.com/id/berita/Kondisi-Pertanian-Indonesia-saat-ini-Berdasarkan-Pandangan-Mahasiswa-Pertanian-Indonesia.php. Diakses tanggal 21 Februari
2013. Makassar.
Jones, PIP.
2009. Pengantar Teori-Teori Sosial Dari
Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Khudori. 2004.
Neoliberalisme Menumpas Petani
Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Yogyakarta: Resist Book.
Lailatusysukriyah,
2011. Kapitalisme Dalam Sejarah Agraria
Di Indonesia. Yogyakarta: UGM
Ojudista.
2009. Kaum tani Dibawah Ancaman
Kapitalisme. http://saksimelawan.blogspot.com/2009/11/kaum-tani-dibawah-ancaman-kapitalisme.html. Diakses tanggal 21 Februari
2013. Makassar.
Salikin, K.A.
2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan.
Yogyakarta: Kanisius.
Soekartawi.
2010. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yustika, A.E. 2005.
Menjinakkan Liberalisme Revitalisasi
Sektor Pertanian dan Kehutanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
0 comments:
Post a Comment